11 Denal

292 10 0
                                    

Aku menatap cincin itu lama. Denal sudah pergi setelah beberapa kali aku meyakinkan dia aku tak akan lari lagi.
Cincin itu begitu indah dalam kotak merah beludru itu.
Dulu... Aku berfikir aku akan memakai cincin ini kelak. Setelah semua terselesaikan terutama urusan hatiku. Aku memang meninggalkan dia tanpa jawaban apapun. Tapi harusnya dia yakin, aku akan datang dengan jawaban itu. Dia tidak boleh kesini. Dia.......
"Denal.... Aku akan menikah dengan mu. Tapi, Arghhhhhh Kamu tidak mengenalku dengan baik, nal."
Aku menutup kotak itu cepat. Kutarik laci meja samping ranjangku.
***

Hari-hari berikutnya nampak seperti dulu. Rio menjadi yang dulu, sikap cuek itu, nada tingginya, dan yang paling kurasakan dia mengabaikanku, menghindar bertemu berdua denganku.

Sedangkan Denal, menguasai hari-hariku. Setiap hari datang menjemput, mengajak makan siang bersama, makan malam, mengantar pulang.
Arghhhhh.... Semakin kacau.

-Ndree, hari ini aku harus ke Bandung-
Denal.

Pesan singkat yang kuterima sore ini. Aku tersenyum manis, kuhabiskan kopi ku sore ini lebih tenang. Jauh lebih nikmat.

"Kamu dijemput ndre?" Tanya Elsa yang sudah menjinjing tasnya.
Aku tersenyum lebar dan mengangguk antusias.

"Ya udah, aku duluan yah." Elsa melambaikan tangannya lalu pergi. Aku masih duduk menyibukan diriku didepan komputerku. Beberapa orang menyalamiku dan pergi juga. Sampai kulihat pukul setengah tujuh. Suasana kantor sudah sangat senyap. Sudah tidak ada lagi karyawan-karyawan lantai dua. Aku segera mematikan komputerku dan langsung beranjak. Menuju ruangan Rio.

Klek.... Aku menutup pintu ruangan Rio. Seperti biasa ruangan Rio pasti terbuka, setelah lewat dari jam lima.

"Ndre.." Dia nampak kaget aku masuk dan langsung menutup pintunya.

"Aku mau ngomong." Kataku langsung mengambil kursi didepan mejanya.
Beberapa detik kemudian Rio memang sudah biasa kembali.
Dia mengangguk. Tapi sama sekali tetap tidak mau melihatku.

"Apa salahku?"
Aku sedikit meninggikan suaraku.
Dia nampak lebih bingung dengan pertanyaan ku. Arghhh....

"Kamu berubah Rio." Tegasku.
Sampai ku lihat bingkai foto yang sebelumnya sama sekali tak pernah ku lihat. Foto Rio dan Tunangannya.
Ada rasa sakit dalam hatiku saat melihat foto itu. Agak lama kutahan kata-kataku. Semua semakin terasa berbeda. Aku dan Rio memang sudah tidak sejalan lagi.
Aku menarik tangan ku perlahan.

"Denal, kekasihmu?" Suaranya terdengar lirih.
"Bukan."
"Tapi dia sangat mencintaimu ndre."
Aku menatap Rio tak percaya. Jalan pikirannya kali ini membuatku tak suka.
"Aku udah kenal Denal lama ndre. Aku baru ingat Denal pernah menyebutkan nama kamu, dia cinta banget sama kamu dari dulu ndre." Dia menggeleng pasrah.
"Aku tau cerita tentang kamu dan Denal."

"Aku ngga ada hubungan apapun dengan Denal. Dia hanya sahabatku. Ngga lebih."
"Terus?"
"Terus?" Aku mengulangi pertanyaannya.
"Yah aku ngga mau kamu berfikir aku dan Denal ada hubungan khusus."
"Tapi yang aku liat.."
"Ngga ada apa-apa!" Tegasku.
Dia menarik bibirnya sedikit. Menghasilkan senyum yang sebenarnya masih tertahan.

Kenapa aku jadi seperti ini.
"Jadi?" Tanya Rio tiba-tiba.
Kulirik lagi bingkai foto Rio dan tunangannya. Seperti luka yang sengaja ku tekan. Sakit, begitulah rasanya.

"Aku ngga ngerti." Jawabku hambar. Kenyataannya aku memang bimbang dengan perasaan ku.

Putuskan dia....
Fikiran itu kembali lagi.
Tapi kutepis... Bahagialah dengan dia Rio.
Terasa munafik. Tapi entahlah aku mencintainya.
"Aku mencintainya Tio. Bagaimana ini?" Ucapku pada diri sendiri. Aku selalu beranggapan Tio selalu di sisiku. Ikut hidup dalam hatiku. Keluh kesah ku setorkan padanya. Lalu aku menyemangati diri, dengan beranggapan Tio dibalik semua itu. Aku mencintai Tio ku, bahkan setelah raganya telah tiada. Dia tetap bersamaku. Berada di tempatnya. Di hatiku.

MAAFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang