2 RelationSweet

684 17 1
                                    

17 September

Bumi itu berputar, begitu juga duniaku. Sikap ku tempo hari mengunci tio di kelas masih membuatku merasa malu, malu padanya, pada rino dan pada diriku sendiri. Betapa bodohnya aku melakukan itu. Aku menghindari tio saat itu, mengacuhkannya, membuang muka ku saat kita papasan. Tio pun tak mengganggu seperti dulu. Sikap acuhnya kemarin malah berubah jadi lebih memperhatikanku.

-aku tunggu kamu di lantai paling tinggi kampus jam empat sore. Sendiri.
Tio

Message dari nomor tak dikenal yang mengaku Tio.

Aku berfikir sejenak. Mungkinkah? Tapi tidak ada salahnya aku kesana. Aku sengaja mencari alasan dari rossa untuk tidak pulang bersama.

Pukul empat kurang seperempat aku berada di toilet lantai lima. Bingung, takut, malu dan penasaran bercampur dalam pikiran ku. Ego ku bilang untuk tidak datang. Hanya akan membuatku bertambah malu. Tapi hati ku ingin sekali kesana. Aku terdiam lagi, memperhatikan wajah ku dalam pantulan cermin toilet kampus. Aku sudah memoleskan bedakku, warna nude yang biasa ku pakai sekarang menjadi warna merah di bibirku. Menor? Ahhh.... Aku bertindak bodoh lagi. Kuambil tissue dalam tasku. Kulap kasar warna merah bibirku.

"Benarkah kau mencintainya? Apa yang kau harapkan dari pertemuan ini? Bagaiman jika ini tipuan. Ahhh seharusnya kau menanyakan nomor tio pada rossa, memastikan itu memang nomor nya atau bukan. Agrhhhhhh... "
Aku menutup wajahku kesal... Kubasuh wajahku beberapa kali lalu menatap cermin kembali. Aku berantakan sekarang. Setidaknya tio akan menganggap ini pertemuan yang sama sekali tidak penting, pertemuan yang biasa saja, pertemuan yang sebenarnya ingin ku acuhkan.

Kulirik jam di tangan ku, pukul empat lewat lima menit. Aku menghabiskan waktu duapuluhmenit dengan perasaan tidak penting ini. Aku mengambil tissue kembali. Mengelap wajahku. Lebih segar. Lebih natural. Kali ini memang lebih pantas untuk menemuinya tanpa riasan spesial itu.

Aku keluar, berjalan perlahan. Satu lantai lagi tempat pertemuan itu. Aku membuka pintu itu pelan. Hanya ruangan serbaguna yang kosong. Luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan keindahan disekitar gedung kampus.

Sosok tio sudah berada di sisi ruangan, dengan cepat tio mengalihkan pandangannya saat mata kita bertemu. Aku pun menghentikan langkahku di dekat pintu.
Canggung, dan terlebih aku takut berbuat bodoh lagi.

"Andreaa" panggilan itu mempercepat detak jantungku.
Panggilannya begitu lembut. Sekarang nafasku yang tidak beraturan.

"Ndrea maafin aku" katanya terlihat memohon.

Laki-laki yang kemarin membuatku mencaci maki kebodohan ku sendiri. Laki-laki yang kata rossa my first love, laki-laki yang akhir-akhir ini slalu mampir di fikiran ku. Kini memohon maaf untuk suatu kesalahan yang tidak aku mengerti.

"Hmmmmm" jawabku seBIASA mungkin. Sungguh, susah sekali hanya untuk menjawab itu.

"Semua tentang maket itu hanya karena rasa bersalah ku merusak maket mu"

Aku mengangguk datar.

"Bodoh kamu andrea, ya iyalah dia merasa bersalah. Jadi dia melakukan itu semua. Kamu ke Geer'an andrea. Kamu terlalu berlebihan memaknai semuanya.
Jadi aku di tolak? Oke"
Aku mengatur nafasku, ada perasaan kecewa yang segera kutepis.

"Bisa kita seperti dulu?"
Aku mengangkat alis, seperti dulu yang mana?

"Maksudnya?"
"Seperti dulu"
Aku mengalihkan pandangan ku, dan dia membuang muka tanpa mau melihatku.

MAAFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang