Prologue - Habits Of My Heart

16 1 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cinta. Sebenernya apa sih itu cinta? Gue nggak pernah paham apa itu cinta sebenarnya, i mean a lot of couple said love is when you would die for someone, woah bukannya itu terdengar lebih seperti kebodohan ya?

"Ngga? Bisa lembur nggak hari ini? Dokter Arista lagi ke Jepang soalnya pengecekan alat-alat rumah sakit terus dia lebih mercayain lo daripada gue. Nasib nasib..." Rayhan. Salah satu temen gue yang membuat gue tetap waras menjalani hari sebagai dokter yang sibuknya nggak ketolongan, dan yang paling penting, dia juga menjaga kewarasan gue ketika gue mulai melakukan hal-hal bodoh dan berkata "iya" buat si dia. Dia yang jauh di negeri sana. Melankolis memang kedengarannya, tapi nggak seburuk itu kok, dia sudah bertunangan dengan gue, and she loves me or i thought so.

"Duh Ray, kan gue udah bilang masuk ruangan gue tuh diketok dulu" kata gue pura-pura kesal sambil mengelap tumpahan kopi karena emang saat Rayhan masuk gue agak kaget, mungkin karena asyik banget ngelamun.

"Yeeee tau sendiri deh yang pamer dipromosi terus dapet ruang dokter sendiri, gue udah ngetok kali tadi. Gue temenin lo lembur deh ya? Nanti lo nyilet-nyilet tangan lo lagi saking depresinya" kata dia sambil merangkul gue dan menampakkan wajah super ngeselinnya.

"How many times i told you bro? No hug no hug. Najong banget alesan lo, bilang aja sih biar keliatan lo rajin terus dipromosi dapet ruangan kayak gue kan? Keep hoping bro" kata gue sambil berjalan keluar meninggalkan Rayhan. Sebenarnya, Rayhan itu pinter banget, tapi dia agak lemot, lemot atau bijak ya? Yah dua kata itu bisa sebelas dua belas sih arti katanya dalam beberapa waktu.

"Sialannnnn" kata dia menjawab ledekan gue sambil melempar jas dokter putih kebangsaan punya gue yang lupa gue ambil.

Gue terkikik selama perjalanan lorong rumah sakit setelah pengecekan pasien rawat inap dengan Rayhan, ketika gue teringat tentang si dia lagi gue berhenti dan menengok ke arah Ray.

"Ray sekarang jam berapa?"

"Baru mau jam 1 pagi Ngga, jam 7 malem ya berarti di sana? Jam nya dia pulang ke apartemen habis cari buku buat thesisnya kan? Udah sana lo telepon dia dulu, gue bantuin cek pasien yang lantai 3" i'm so glad having a friend that know me really well. Sebenernya ada lagi selain Ray, kalau inget dia gue jadi merasa bersalah, kita belum ngobrol sejak dia tau gue bohong sama dia.

"Wah lo sampe tau jam kelar cewek gue ya, awas aja lo naksir. Thanks Ray, secepetnya ini telepon kelar gue balik bantu lo, jangan godain suster jaga lo inget kita di negara orang bro" kata gue menepuk bahu Rayhan sebelum ngacir ke ruangan gue, sebelum dia berubah pikiran, walau sebenernya itu orang nggak pernah berubah pikiran sih, siapa tau dia kesambet apa gitu?

"Halo bey, kamu udah pulang dari perpustakaan?" tanyaku saat mendengar suara dia di ujung sana setelah nada tunggu telepon yang lumayan menyiksa. Entah kenapa setiap teleponan sama dia, pikiran gue nggak cuma mengarah ke masalah gue dan dia, karena hubungan kita bikin banyak orang susah emang. But can we be selfish sometimes?

"Iya ini aku lagi lembur bey sama Ray, tenang tunanganmu yang ganteng ini nggak homo kok, tapi nggak tau kalau si Ray sih ya..." dan dia pun tertawa renyah walaupun mengetahui hubungan kami yang mulai runtuh, yang kemudian akhir-akhir ini tawanya menjadi salah satu hal yang gue syukuri.

01.30 AM Christmas Island. 

Gue agak menyesal milih pindah kerjaan ke sini, walaupun emang ini mimpi gue, menjadi dokter, tapi kalau gue menolak kerjaan ini gue bisa lebih dekat dengan dia.

Welcome to my life, and my stupid brain yang cuma bisa bilang "iya" ke semua omongannya. Walaupun hal itu bakal nyakitin gue sendiri. Miris.


DU(M)BLINWhere stories live. Discover now