3.2

23.3K 1.9K 16
                                    

Pada pukul delapan aku sedang memasak di dapur, memotong beef, dan beberapa bahan salad. Saat itu aku baru saja selesai mandi dan hanya memakai kemeja linen. Serius, aku benar-benar lapar.

Aku tertidur di bathub dan lupa untuk keluar. Such an idiot girl, I know. Dan sekarang aku memasak, salah satu kegiatan favoritku.

"Makananmu tidak enak" ucapan Ethan mengiang-ngiang sekarang. Dia selalu bilang tidak enak tapi menghabiskan sebagian besar makananku. Pantas saja dia berat, dia punya ego tinggi di dalam tubuhnya.

Berhenti! Aku sedang tidak ingin mengingatnya.

Tapi aku sungguh jatuh cinta padanya. Sampai sekarang belum pernah ada yang menyentuh perasaanku sejauh ini. Bagaimana aku di jungkir balikan, bagaimana aku membenci sekaligus menyayangi. Ini bukan benci seperti aku ingin melupakannya, ini perasaan kuat yang terlalu dekat yang mengartikan benci sebagai ribuan kali lipat dari definisi cinta.

Yeah, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Mungkin kalau dia datang ke apartementku sekarang aku akan bilang maaf.

Mungkin. Mungkin tidak.

Aku memasukan daging sapi ke dalam wajan, dan selanjutnya aku mulai bermasak ria. Menyiapkan semua hal seperti aku adalah chef, masalah enak atau tidak adalah nomor dua. Aku menyukai prosesnya.

Beberapa menit kemudian setelah selesai, aku mendapat dua cipratan minyak panas di tangan dan rasanya panas seperti terbakar. Dan aku memang aku terbakar, tololnya aku.

Tapi aku rasa sakit itu hilang ketika aku selesai melakukan plating di piringku. Aww.. what a beautiful dinner for me. Sambil memutari meja pantry aku mengambil garpu dan pisau.

Tepat saat itu aku mendengar pintu apartementku dibuka. Aku melihatnya menunggu siapa yang masuk, itu pasti Milla, Candice, adiku laki-lakiku Simon, atau Ethan. Karena hanya mereka yang tahu sandi apartementku.

Lalu dia muncul. Ethan Jackson. Membawa sebuah keresek besar dan wiski, dia sedang menggunakan mood 'aku direktur kaya dan terhormat, jadi tunduklah' membuatku diam-diam ngiler.

"Ethan." Bisikku.

"Malam, Barbara." Jawabnya. Dia berjalan ke meja pantry dan menyimpan keresek di atas meja menonton tv, aku menebak dia membawa pizza.

"Apa itu?" Tanyaku basa-basi.

"Bukan apa-apa, itu cuma tuksedo baruku."

Aku mengangguk tanpa mengalihkan perhatian darinya. Tuksedo? Kenapa aku mencium keju meleleh?

Sementara dia mendekat, aku duduk di kursi pantry menghadap ke makananku. Ethan duduk di sebelahku dan membawa dua gelas teh di rak sambil menyimpan botol wiski di depan kami.

"Kelihatannya enak." Dia berucap dengan formal.

Ayolah Ethan, jangan formal, aku tidak bisa menendangmu kalau begitu.

"Yeah, aku membuatnya barusan. Kau mau?"

"Tidak."

Kami bertatapan, dan dia hanya diam saja memperhatikanku. Aku sulit menebaknya kalau dia melakukan itu terus-terusan. Tapi tetap saja, aku mulai memakan masakanku, dan--- uhh, enak sekali. Benar-benar enak sekali sampai aku hampir mual.

Dengan cepat aku turun dari kursi dan berlari menuju keran air, mengkumur mulutku dan menggosok lidahku yang telah memakan daging gosong yang dalamnya mentah. Bagaimana bisa?

Sebaiknya lain kali aku makan makanan instan yang mudah. Seperti sereal untuk dinner. Bagus kan?

"Kau baik-baik saja?" Sahut Ethan.

"Ya, ya, tidak apa-apa." Balasku. Aku mulai mencari minum secepat mungkin.

"Apa kau mau pergi ke luar untuk makan?"

Aku menggeleng dan menurunkan gelas, kembali berjalan ke meja pantry. "Tidak perlu, kita minum wiski saja. Pasti keren."

*****

Living With an Idiot Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang