14. Siapa

60.8K 5.9K 265
                                    

Bagian Empat Belas

"Pantesan aja dia minta gue jadi pendamping pas balapan, pantesan aja dia nyuruh gue pura-pura jadi pacarnya, pantesan aja dia dengan bangga nyebut gue pacarnya cuman di tempat balapan, kan di sana ada Wellyn. Pantes aja. Kenapa gue bego banget sih."

Arella tak henti-hentinya mendumal saat dirinya sampai di rumah. Sedangkan Sandi langsung pulang begitu selesai mengantar Arella dan mengucapkan kata-kata super andalannya: "Gausah makasih gapapa." dan langsung pergi karena tidak mau mendapatkan semprotan dari Arella yang baik kondisi batin dan fisiknya luar dalam terluka.

Arella sedang memakan permen kacang caramel dengan kunyahan besar dan kesal di sofa depan televisi kala Arden datang menghampiri dengan wajah lelahnya. Tapi, begitu ia melihat raut wajah milik kakaknya, Arden merasa kalau raut milik Arella bahkan lebih buruk darinya yang kelelahan.

"Kenapasi muka lo?" tanya Arden yang baru saja melempar tasnya asal dan merebahkan tubuhnya di atas sofa, kepalanya berada di pangkuan Arella.

"Jelek? Iya tau, gausa ngina gitu." Arella memasang wajah jengkelnya dan memakan lagi permennya dengan sekali suap. Dia juga menyuapinya kepada Arden yang langsung saja membuka mulutnya dengan sigap untuk mengunyah.

"Lo yang ngomong ya," kata Arden. "Muka ditekuk gitu udah jelek nambah jelek."

"Hina aja terus gapapa."

Arden bangkit dari posisinya dan menatap kakaknya lekat-lekat. "PMS lu ya?"

Arella menggeleng cepat dan langsung mengubah posisi duduknya untuk bersila di atas sofa dan menghadap Arden. Ia berpikir kalau setidaknya ia harus mengetahui beberapa hal mengenai kehidupan adiknya yang kemungkinan besar memiliki kesamaan dengan orang yang kini merasuki pikirannya.

"Gue mau nanya dah." Arella akhirnya berani untuk mengeluarkan suara, sekaligus menerawang tatapan adiknya dan memerhatikannya dari atas sampai bawah.

"Paan?" Arden nampak tidak perduli dan kembali meraih permen di tangan Arella dan memakannya.

"Lo kenapa jutek kayak gini?"

Pletak

Arden langsung saja menjitak kepala Arella. "Pertanyaan lo gamasuk akal."

Arella meringis, dan cemberut sambil mengusap sendiri kepalanya yang baru saja mendapatkan hantaman. "Gue nanya serius, Kutub."

"Apanya yang kenapa si?" kesal Arden.

Arella meletakkan semua permen yang berada di tangannya ke genggaman Arden. Ia menghela napasnya panjang sebelum memutuskan untuk melanjutkan pertanyaan.

"Lo jutek kayak gini karena alasan apa? I mean, lo emang dari kecil sok ganteng sih, tapi kenapa harus dingin banget sama orang bahkan sama keluarga sendiri?"

Arden memutar bola matanya dengan malas. "Satu, gue emang ganteng dari lahir. Dua, gue dingin sama lo doang."

Plak

Tamparan mulus mendarat di bahu Arden yang begitu pedas terasa, berhasil membuatnya meringis. Tabokkan Arella itu lebih pedas daripada cabai rawit.

"Sakit, babi," gerutu Arden memegangi bekas tabokkan Arella dan mengusapnya sendiri.

"Lagian orang nanya serius juga."

Catastrophe [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang