11. Arena

64K 6.2K 351
                                    

Bagian Sebelas

Hari demi hari Arella lewati sesuai dengan rencana awal yang Ferrel dan juga dirinya buat dan sepakati.

Kendati sebelumnya ia menyesal karena telah memaafkan Ferrel dan merasa malah jadi dimanfaatkan, di sinilah Arella sekarang. Di depan cermin kamarnya, duduk dan memerhatikan tatanannya sendiri.

"Jadi pacarnya? Sumpah nih? Serius nih?"

Arella mengacak-acak rambutnya dengan gerakkan frustasi. Bisa-bisanya dia bilang iya tanpa berpikir dua kali!?

Sementara hatinya sibuk merutuki dirinya sendiri, tangannya meraih catokkan di lacinya dan mulai membenarkan tatanan rambutnya. Di satu sisi, Arella tidak mau membuat Ferrel malu kalau-kalau ia diharuskan menjadi pacarnya dan malah menghina Ferrel.

Sekali lagi batin Arella beradu. Apa perdulinya kalau Ferrel nanti dikata-katain kalau punya pacar macam Arella? Malah bagus dong, seharusnya, karena bisa saja Ferrel nanti mencabut tuntutannya dan membiarkan Arella bernapas lega.

Selagi sibuk dengan tatanan rambutnya, matanya menoleh ke arah jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Itu artinya, setengah jam lagi Ferrel akan datang menjemputnya.

Setelah selesai, Arella turun ke bawah dan melihat Arden dengan beberapa teman barunya dari sekolah tengah berkumpul di ruang tamu dengan snack yang berhambur di mana-mana. Mencoba tak perduli, Arella melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menemui sang Mama yang tengah membuat kue.

"Kue buat siapa, Ma?" tanya Arella, duduk di kursi meja makan, memerhatikan Mamanya yang tengah sibuk dengan oven dan mengenakan celemek berwarna hijau.

"Ini si Arden minta bikinin kue katanya dia abis pamer ke temen-temen kalo Mama jago bikin kue."

"Muka galak, hati helokiti," komentar Arella yang disetujui oleh Mamanya.

Setelah selesai, Pricill—Mama Arella—duduk dan memerhatikan anaknya yang terlihat agak berbeda.

"Kamu mau kemana?" tanya Pricill.

Arella menghembuskan napasnya berat. "Mau nganterin Ferrel balapan," jawabnya jujur. Arella tidak bisa berbohong kepada Mamanya barang sedikitpun.

Kemudian tatapan Pricill menelusup dan memerhatikan anaknya secara keseluruhan saat merasa ada yang janggal. "Jam tangan kamu mana?"

Arella menggigit bibir bawahnya sesaat. "Ada di Ferrel."

Selagi Pricill mengangguk dan Arella jadi sedikit kikuk, Arella mengeluarkan ponsel dari tas mininya kala ponselnya dirasa bergetar. Itu dari Ferrel.

"Ke depan."

Dan panggilan terputus.

"Ma, aku berangkat ya." Arella bangkit dan hendak menyalimi sang Mama.

"Hati-hati," ujar Pricill sebelum Arella berlari kecil untuk menoyor kepala Arden dan langsung kabur keluar rumah.

"Si tai," gerutu Arden, sontak mengangkat tubuhnya dan memegangi kepala belakangnya.

Sementara Arella sampai di depan rumah, ia mengenakan sepatu anak-anak kekinian yang disarankan oleh teman-teman gengnya untuk ia kenakan saat mengantar Marissa berburu di salah satu Mall Jakarta.

Catastrophe [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang