Bab Tiga : Gadis Bulan

1.6K 174 108
                                    

Bisnis kecil seperti kata Elleanor jelas sekali mengecilkan apa yang dijalankan oleh Renaissance Ginevra ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bisnis kecil seperti kata Elleanor jelas sekali mengecilkan apa yang dijalankan oleh Renaissance Ginevra ini.

Adonis sudah membayangkan kelab malam murahan di pinggir kota, dengan musik murahan dan minuman yang juga murah dari nada bicara Elleanor Foster sore tadi. Di otaknya, samar-samar terpatri gambaran lantai kotor, aroma parfum norak yang bercampur keringat, juga banyak remaja di bawah umur yang menipu penjaga pintu dengan kartu identitas palsu.

Tapi yang ia lihat sekarang ini, semuanya di luar ekspetasinya.

Blitz, Adonis sama sekali tak tahu wanita inilah yang punya bar berkelas itu. Nama Blitz sering berdengung di kalangan atas, bahkan bisa dibilang, tempat ini seperti sarangnya para ekspatriat. Tak ada remaja di bawah umur, tak ada gadis-gadis pelacur murahan, tak ada minuman murahan. Blitz tempat para sosialita, yang menghabiskan malam dengan berbalut gaun-gaun bermerek dan jas semi-formal. Tempat di mana para pebisnis menyesap cocktail yang dicampur dengan profesional sembari membicarakan harga saham dan nilai tukar kurs.

Beberapa lembar uang sepuluh dollar yang keluar membuat Adonis sedikit menggerutu, walaupun ya, ia lumayan terkesima saat matanya disajikan pemandangan interior yang gelap, futuristik, namun elegan itu. Di sana-sini banyak orang yang berlalu lalang, namun semuanya datang dari arah yang sama—yaitu meja bar di ujung sana.

Alunan malas saxophone jazz yang membuai ruangan menjadi musik pengiring yang (anehnya) terasa menciptakan suasana yang pas untuk tempat ini. Tenang dan berkelas, benar-benar tempat yang pantas dihargai mahal. Adonis jadi mengernyit saat mendapati pikiran itu melintas. Kesal dengan dirinya yang mulai menikmati keadaan, akhirnya dengan langkah panjang-panjang Adonis mengangkat kepala dan membelah kerumunan.

Meja bar itu cukup sederhana sebenarnya, sama seperti di kelab lain. Bahan kayu beratnya dipoles mengilap, seakan berusaha bersaing dengan kilapnya botol-botol liquor dan alkohol yang berjejer di rak dinding. Berbagai merek kelas atas terpajang sana, bersisian dengan aneka bahan lain yang biasa dipakai untuk membuat cocktail.

Dan di dekat sana pulalah, Adonis menemukan si pirang itu.

Sendiri. Tanpa dikelilingi pengawal-pengawalnya yang sebesar kulkas.

Di bawah cahaya remang, siluet kontras wanita itu nyaris tersembunyi dalam gelap. Tatapan Renaissance jatuh pada ponselnya, namun kepala pirang itu sesekali terangkat untuk membalas sapaan orang-orang yang mengenalinya.

Adonis sendiri tak tahu berapa lama ia diam di sana dan memandangi wanita itu. Rasa antisipasi dan adrenalin yang membanjiri dirinya membuat pria itu mengepalkan jemari tanpa sadar. Begitu dekat. Sangat dekat.

Jantung pria itu nyaris berhenti sejenak, saat bola mata yang warnanya terkuras habis itu menangkap sosoknya, bahkan sempat bertahan sejenak tanpa berpaling darinya. Dari sepasang retina itu, berkelebat berbagai pikiran yang terlalu cepat untuk bisa dibaca. Cara wanita itu menatapnya ... Adonis was-was karena tatapan itu seperti mengenalinya.

Talking To The Moon [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now