Bab 1. Mama!

22.8K 1.1K 122
                                    

"Nin, Ninda! Woy! Bangun, kebo!" suara itu terdengar samar-samar di telingaku, namun aku tahu dengan pasti siapa gerangan pemilik suara itu. Rina, dia satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan 'kebo'.

"Apaan sih, Rin?" aku mengucek mataku, lebih memilih bergelung di balik selimut.

"Lu lupa ya? Sekarang kita ada kuliah pagi, kebo!" ucapnya sambil menyingkap selimutku.

Tak butuh waktu satu detik, tubuhku langsung meloncat dari kasur, mataku terbuka lebar, dan jantungku berdetak tak keruan. Semua itu terjadi hanya dengan mendengar kata 'kuliah pagi'. Tanpa babibu, aku segera berlari ke kamar mandi, tak peduli dengan kemungkinan terpeleset atau jatuh. Yang penting aku masuk kelas tepat waktu!

Iya, kuliah pagi, dimulai pukul tujuh. Padahal dulu, aku berharap saat kuliah tak ada lagi jadwal untuk masuk pukul tujuh. Tapi mau bagaimana lagi? Ini universitas swasta yang terkenal paling 'disiplin'.

Setelah mengenakan pakaian, aku pun mengambil tas, bergegas keluar bersama Rina yang sejak tadi menungguku.

"Rin, Dian sama Fanda mana?" tanyaku sambil melingkarkan jam tangan di pergelangan tangan. Masih ada waktu lima belas menit sebelum kelas dimulai.

"Udah berangkat duluan tadi," jawabnya sembari mengorek-orek isi tas. Aku memperhatikannya, termasuk saat sebungkus roti ia sodorkan padaku. "Nih, buat sarapan."

Aku menatapnya ragu. "Kamu makan apa?"

"Ck. Aku punya dua, kebo! Ayo buruan, kampus kita masih jauh!" Rina memaksakan rotinya diterima olehku, sebelum menarikku untuk berlari.

"Aku nggak mau telat di kuliahnya Pak Afian," sambungnya di tengah kami berlari.

***

Namaku Ninda Silviani, 18 tahun, mengambil jurusan desain interior. Meskipun sekarang aku mahasiswi, tapi tinggiku sama seperti anak SMP, 155 cm. Itulah sebabnya hampir semua orang memanggilku bocah, tak terkecuali dosen yang tengah mengajar saat ini, Pak Afian. Mungkin lebih tepatnya, Pak Afian lah yang memulai panggilan itu.

Banyak yang mengatakan kalau Pak Afian itu keren, ganteng, cerdas, perfect, dan segala yang baik-baik. Tapi buatku, Pak Afian tak lebih dari dosen yang punya hobi meledek(ku). Satu lagi, di usianya yang ke-29 ini, Pak Afian single! Iya, SINGLE FATHER. Semua orang tahu itu, tapi aku tak begitu peduli dengan urusan keluarga orang lain.

 Semua orang tahu itu, tapi aku tak begitu peduli dengan urusan keluarga orang lain

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Baiklah, kelas pagi ini saya tutup. Selamat pagi," tuturnya sembari membereskan barang.

"Selamat pagi, pak." Kawan-kawanku segera berhamburan keluar kelas, termasuk Rina yang sudah mengeluh kelaparan. Sementara aku masih berada di kursi, membereskan perlatan yang kelewat banyak di hadapanku.

"Ninda!"

Aku mendongak, menatap mata gelap milik Pak Afian. "Iya, Pak?"

"Bisa tolong bantu bawakan tugas ini ke ruangan saya?" Pak Afian menunjuk setumpukan kertas di mejanya. "Saya ada urusan di fakultas teknik," jelasnya tanpa kuminta.

Single Father and MeWhere stories live. Discover now