#Part 9

1.4K 41 2
                                    

Aku tidak bisa berhenti tersenyum sampai di dalam kelas. Viola saja sampai menggelengkan kepalanya karena melihat sikapku yang aneh sesudah istirahat tadi. Pelajaran yang sedang di bahas pun hanya masuk ke telinga kanan dan telinga kiri. Mungkin kalau Viola tidak menyenggol lenganku, aku akan di hukum di depan kelas. Dan aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri.

...

Dhania POV

Aku mengaktifkan ponsel yang sudah dua hari di matikan. Simple alasannya karena tidak ingin di ganggu oleh siapapun. Begitu mengaktifkan handphoneku, tertera disana beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan dari Alenata---sahabatku.

Huh? Sahabat? Sepertinya sudah tidak lagi.

Kubaca pesannya dan menyetujui ajakannya. Yah, memang aku sedikit ingin tahu kehidupan barunya yang tidak lagi bersamaku walaupun akhirnya dia cerita sendiri. Sesaat setelah aku sampai di alamat kafe yang sudah di kirim oleh Alenata. Aku bergegas masuk dan mencari keberadaan mereka.

Disana sedang ada keributan kecil yang mempersalahkan tempat duduk, saat aku sampai. Mereka semua diam dan duduk di tempatnya masing-masing. Terlihat mereka memesan makanan dan minuman, begiu juga denganku. Tapi entah kenapa rasa malas timbul begitu saja.

Topik pembicaraan di mulai lebih dulu oleh Kak Divo. Menurutku dia sebanding dengan Kak Raffa. Pesanan datang dan aku segera memakan makananku sebelum kehilangan nafsu makan. Aku masih asik dengan makananku, sedangkan Kak Divo, Viola dan Alenata terlibat dalam pembicaraan yang serius.

Pembicaraan serius katanya? Mana ada pembicaraan serius yang di bicarakan di tempat unum seperti ini. Dan kali ini mereka sedang membahas cowok dingin.

What the hell? Cowok dingin sebenarnya gampang di taklukin. Dengan kalian cuma diem, tidak menganggapnya ada dan tidak memperdulikannya itu cukup untuk membuat si cowok dingin itu penasaran ke kita.

Yang di bahas kali ini adalah Kak Raffa, yang katanya dingin. Menurut pandanganku, dia itu tidak dingin hanya tidak memperdulikan urusan yang berkaitan dengan perempuan.

Dan baru saja aku dengar kalau Alenata juga menyukai Kak Raffa. Mau apa dia sebenarnya? Bukankah ia bilang tidak suka dengan Kak Raffa si cowok nyebelin itu, bagaimana ia bisa punya perasaan suka itu? Yang jelas lagi-lagi Alenata sudah merebut cowok incaranku untuk yang kedua kalinya. Salahkan dia yang menyebut bahwa dirinya tidak suka dengan Kak Raffa, berarti peluangku untuk kenal dengan Kak Raffa jauh lebih banyak. Tapi sekarang apa?

Nyatanya siapa yang bilang tidak suka dari awal sebenarnya itulah awal dari perasaan suka yang timbul perlahan-lahan sampai berhasil menembus hatinya. Memang peryataan cinta dan benci itu tidak sepenuhnya salah.

Aku mengaduk minumanku dengan malas dan aku juga sudah berpangku tangan di atas meja. Aku hanya menjawab dengan satu atau dua patah kata sajam karena rasa bosan, kesal dan marah pun sudah menyelimutiku sedari tadi.

Ingin rasanya menggebrak meja ini, tapi aku mengepal tanganku kuat-kuat sambil menenangkan diri. Sudah hampir sore siang, tapi pembicaraan ini belum selesai. Dengan tidak sabar aku langsung mengajak Alenata pulang ke rumah dengan menaiki mobilku karena kalau di teruskan bisa sampai malam nanti.

Rumah Alenata berada tidak jauh dari rumahku, tepatnya tiga rumah di seberang rumahku. Jadi aku masih bisa melihat siapa yang mengantar jemputnya. Sekaligus melihatnya sesekali duduk di luar balkon sambil menatap ke langit. Itu benar-benar sangat aneh. Seperti tidak ada kerjaan lain saja.

...

Rencana yang kemarin di rencanakan oleh Alenata sudah dilakukan, tapi hanya satu yang membuatku ganjal saat Alenata pulang sekolah di antar oleh Raffa. Setahuku itu tidak ada di dalam list rencana mereka. Aneh, sepertinya dibuat rencana tidak terduga.

Aku bisa melihatnya dari sini ia sedang tersenyum puas karena ucapannya kak Raffa sebelum ia melajukan motornya cepat. Alenata tiba-tiba saja langsung lari masuk ke dalam rumah. Dengan cepat aku matikan handphoneku kembali agar ia tidak menceritakan hal itu lagi karena aku sudah melihatnya dengan jelas.

Kebencianku kepadanya semakin lama semakin besar. Masih kesal dengannya karena menusuk sahabat dari belakang. Entah rasa benciku ini akan mengarah kemana.

...

Istirahat kali ini aku habiskan dengan berjalan menyusuri semua ruangan yang ada di sekolah ini, termasuk taman belakang sekolah. Aku suka dengan taman ini. Sayup-sayup aku mendengar dua orang sedang berbicara dari balik pohon. Kulangkahkan kakiku mendekat ke arah mereka. Dengan jarak satu meter aku bisa melihat ada cewek dan cowok. Sepertinya aku kenal dengan potongan rambut cewek itu, tapi siapa yah?

Aku mendengar suara mereka berbicara lagi dan benar aku sangat mengenali suara itu. Itu suara Alenata dan mungkin juga dengan Kak Raffa. Terdengar bunyi klik dari kotak nasi yang sedang di tutup.

Aku tersenyum sinis di belakang mereka. Ternyata Alenata benar-benar menjalankan rencana yang mereka buat. Terlalu bersusah payah usaha untuk mendekatinya kalau nantinya tetap tidak di perdulikan seperti yang lain, buat apa?

Aku segera membalikkan badan dan keluar dari taman belakang sekolah. Sampai di lorong kelas sepuluh aku bertemu dengan wali kelasku. Aku menyapanya dan ia menyuruhku untuk mengambil berkas bermap kuning di ruang wakasek.

Aku mengetuk pintu ruang wakasek dan masuk ke dalam saat sebuah suara dari ruangan itu mengijinkanku. Langsung saja aku jelaskan maksud dan tujuanku datang kesini. Guru itu langsung mencari berkas yang ku sebutkan tadi. Aku tidak bisa sembarangan mencari barang-barang yang ada di ruang wakasek karena semua berkas disini pasti penting dan jika hilang akan mendapat masalah yang besar.

Tidak lama setelah itu, pintu ruang wakasek kembali terbuka dan muncul seseorang dari balik pintu itu. Aku menoleh ke arahnya, ternyata Kak Raffa. Sepertinya ia mempunyai urusan disini jadi tidak langsung ke kelas. Padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi.

"Lo ngapain disini?" ucapnya kepadaku.

Aku bersidekap dada menghadapnya. "Lagi di suruh ambil berkas."

"Ohh, gituh," jawab Kak Raffa.

"Lo ada urusan Kak disini?"

Kak Raffa memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana abu-abunya. Aku akui ia sangat terlihat keren, tapi aku tidak begitu berkaca-kaca saat melihatnya.

"Yah, sedikit cuma mau cek masalah proposal."

"Hmm... oke, deh. Gue duluan Kak."

"Bentar, lo kelas ipa juga bukan?"

"Bukan. Gue ips. sepuluh ips dua."

"Ohh, oke. Yaudah sana, katanya mau keluar bukan?"

Aku menganggukan kepala dan segera keluar dari ruang wakasek. Semuanya benar-benar di luar dugaanku dan aku tidak menyangka bisa bertemu dengan Kak Raffa di wakasek. Yah, untungnya dia yang memulai pembicaraan bukan aku.

Dhania POV end.

...

Lagi-lagi aku tidak bisa menghubungi Dhania. Apa ia sudah mengganti nomernya?

Aku merasa ada yang kurang, kalau aku belum bercerita dengan Dhania. Ingin aku ke rumahnya, tapi aku takut ia tidak ada di rumah karena tidak terlihat mobil Papanya ada di rumah. Biasanya kalau Dhania sudah pulang, mobil itu terparkir di depan rumahnya.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Sempet bingung di POV-nya tapi Alhamdulillah jadi juga. Hehe...

Keep vomment yaa!! Kritik dan saran juga boleh !!!

BE A RAINBOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang