Masih tak ada jawaban.

* * *

Malam hampir larut. Dan aku sudah berganti baju tidur.

Menunggu Dimas menjawab teleponnya ternyata cuma sia-sia belaka. Pesanku juga tak dibalasnya meskipun terkirim. Awalnya, hal itu membuatku khawatir. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya. Berkali-kali aku menengok ponselku. Hingga pada akhirnya, aku jenuh sendiri pada hasil yang selalu sama.

Aku menghubungi Bayu dan bertanya jam berapa ia akan pulang. Mungkin, dengan keberadaannya di rumah, rasa kesalku bisa sedikit teralihkan. Entah ini hal baik atau sebaliknya. Menjadikan suami sendiri sebagai pengalih kegalauan. Kurasa, otakku mulai sedikit tak sehat.

Sialnya, Bayu bilang, urusan mengecor bangunan tak bisa dikerjakan seperti memoles krim pada bolu ulang tahun. Butuh waktu dan proses yang tak singkat. Jadi, di sinilah aku. Duduk di kamar sendirian sambil menyaksikan acara TV yang tak terlihat menarik. Berharap cepat lelap. Tapi kantuk tak juga datang.

Kukira, Bayu menelepon dan mengabari kalau ia batal pulang telat malam ini. Siapa tahu, anak buahnya mampu menangani pekerjaan konstruksi itu dan membuatnya bisa pulang ke rumah segera. Namun ternyata, panggilan telepon itu justru datang dari sosok yang sudah kutunggu sejak tadi siang dan lenyap selama berjam-jam.

"Hallo, kamu tadi nelepon aku?" serobotku cepat begitu panggilan tersebut kuterima.

"Iya. Cuma mau nanya, tadi sore kamu lagi dimana? Mungkin bisa ketemu dan makan bareng." Nada bicaranya terdengar santai. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikannya.

"Aku di rumah. Where are you now?" tanyaku lagi, masih dengan kecepatan maksimal.

"I'm in the middle of nowhere."

"Are you in trouble?"

Dimas menunggu sekian jenak. "Sedikit."

"Aku ketemu kamu sekarang ya!"

"Nggak usah, Nad. Ini sudah malam."

"Baru jam delapan lewat."

"Seriously. Aku juga nggak tenang kalau di rumah dan tahu kamu lagi ada masalah," jelasku, memaksa.

"Nggak enak sama Bayu. Masak malam-malam istrinya keluar rumah buat nemuin cowok."

"Bayu masih di proyek. Aku ke sana sekarang. Send me your location!" Saat kalimat terakhir tadi kuucapkan, aku sudah berada di depan lemari baju. Menarik sepotong pakaian dan sweater yang bisa menjagaku dari udara malam.

Aku bergerak demikian cepat. Hingga dalam hitungan menit sudah berada di dalam mobil. Di tengah perjalananku menemui Dimas.

* * *

Dimas duduk di satu meja di kawasan Semanggi. Di hadapannya, sebotol bir dingin dan piring kotor bekas makanan ringan tergeletak. Aku langsung menjatuhkan tubuh di depannya. Menatap botol bir dan wajah Dimas bergantian.

"Kamu minum?" tanyaku, merasa heran. Dimas bukan pria seperti itu. Aku sudah lama mengenalnya. Bahkan, rokok pun tak dijangkaunya.

"Aku suntuk."

"Dan lari dengan cara begini?" Aku menghela nafas. Membuang pandangan ke arah lain sebelum kembali pada sosok di hadapanku yang kian kusut.

Saat Dimas hendak meraih botol birnya lagi, aku menarik botol tersebut dan menjauhkan dari jangkauannya.

"You just need a right person to share your problem with."

"I had you."

"Kalau begitu, let's talk. Kamu butuh itu kan? Itu yang kamu bilang ke aku waktu itu."

Aku memanggil waiter untuk meminta segelas air putih yang datang tak lama setelah itu. Kusorongkan gelas tersebut kepada Dimas. Ia meneguknya hingga tandas. Sambil memperbaiki posisi duduknya, Dimas menarik nafas panjang dan memulai sessi curhat kami malam ini.

"Aku menemukan sesuatu." Ia menarik nafas panjang lagi untuk kesekian kalinya.

"..."

"Obrolan di ponsel Alma. Pagi tadi, sewaktu dia mandi sebelum berangkat kerja. Aku mencari ponselnya dan obrolan tersebut ternyata belum dihapus."

"Obrolan seperti apa maksudmu?"

"Kamu paham maksudku, Nadia. Kadang-kadang, Alma mengunci ponselnya dengan password demi alasan keamanan dari teman-temannya yang suka iseng. I deal with it. Awalnya. Tapi sebagai pasangan, aku pun berhak tahu kehidupan dia di luar rumah. Dan ketika ponselnya nggak dikunci, isinya hampir bersih. Apakah itu nggak menghasilkan kecurigaan?"

"Lalu?"

Dimas menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia menautkan jari-jemarinya. Menempelkannya ke dagu, menurunkannya lagi ke atas meja. Gerak-geriknya, tampak serba salah.

Ia tertunduk sebentar. Dan mengangkat wajahnya kemudian. "Namanya Anggara." Ia memberi tahuku.

Setiap sendiku terasa mengeras. Membuatku diam mematung mendengar nama itu disebut.

Dimas tahu yang sebenarnya sekarang?

* * *

Orang KetigaWhere stories live. Discover now