36. Produk Gagal

Mulai dari awal
                                    

Uh-oh. Aku mencium sesuatu yang tidak baik di sini.

Benar saja. Kepala itu dilemparkan tepat ke arah kami. Kami menghindari lemparan kepala itu dengan refleks cepat. Tapi rupanya itu hanya pengecoh. Betina itu sekarang sudah ada di hadapan kami berdua. Albert menghindar, sementara aku menghadapinya. Betina itu mengarahkan tendangan. Kupasang katana sebagai tameng sekaligus senjata untuk memotong kakinya, namun ternyata sekali lagi itu hanya pengecoh. Kakinya jatuh, lalu tanpa kuduga, rahangku ditanduk kuat-kuat dengan kepalanya. Sekali lagi aku terpental.

Menahan sakit dari rahang yang sepertinya patah, aku dikejutkan dengan kehadiran gadis itu yang tiba-tiba sudah melayang di atasku. Kakinya ancang-ancang melakukan tendangan kapak. Tapi ada lengan yang tiba-tiba melingkari piggangku dan membawaku menghindari tendangan mematikan itu. Kaki sang betina mendarat di tanah kosong, langsung melesak dalam-dalam sementara aku mendarat lima puluh meter dari tempat aku seharusnya jatuh dalam keadaan malang. Lengan yang melingkari pinggangku dengan segera terlepas.

Meski masih agak sakit, aku langsung berusaha mengembalikan posisi rahangku yang ganjil ke posisi semula. Bunyi berderak dari sendi yang bergeser agak mengerikan untuk didengar, tapi setidaknya rahangku langsung berfungsi normal. Aku bangkit sekali lagi.

Albert berdiri di depanku. Gantian membentengi diriku. Sikap tubuhnya berusaha menghalangiku menyerang balas betina kurang ajar itu. Di depan sana, terlihat sang betina bangun dengan mudah.

"Sir Aidyn, bukankah Evan sudah memperingatkanmu untuk jangan menunjukkan wajahmu di hadapan kami lagi?" Betina itu menatap Albert dengan kesal.

"Aku tidak berharap untuk diampuni." Aku tercenung mendengar kata-kata formal itu keluar dari mulut Albert lengkap dengan aksen asing yang tak dikenal.

"Sombong sekali. Inilah sebabnya aku benci manusia. Tidak tahu terima kasih," betina itu mengumpat jijik dengan aksen yang terdengar seperti aksen Prancis.

"Aku bukannya tak tahu terima kasih. Ini masalah prinsip, Bella," Albert berkata dengan tenang kepada betina itu. "Aku membela apa yang menurutku benar, dan kamu membela apa yang menurutmu benar. Kamu punya prinsip yang kamu bela dan aku punya hutang yang sampai kapanpun tidak akan pernah lunas. Itu saja."

Sial. Aku dicuekin.

"Ada yang bisa jelasin kenapa lo dan anggota kelompok ini saling kenal?" Aku menginterupsi dengan kesal karena dibiarkan buta tuli selama pertarungan berlangsung.

"Kami pernah ketemu. Dulu." Albert kembali ke nada bicaranya yang biasa. Aksen asing itu hilang dari suaranya.

"Teman?" Aku bertanya lagi pada Albert sambil menghunuskan katana.

"Daripada teman..." Bella lagi-lagi sudah tiba, tapi kali ini dia datang dari belakang. Aku dan Albert berputar sambil menghunuskan senjata masing-masing, "... kami lebih tepat disebut musuh lama."

Bunyi tembakan dari senjata Albert memekakkan telingaku. Bella menghindar dengan cepat. Betina itu menghilang dari pandangan.

Aku mendecih kesal. Kini aku dan Albert saling melindungi punggung. Senjata kami masing-masing bersiaga penuh.

"Baunya nggak enak ya?" Albert tiba-tiba berujar.

"Jelas aja. Banyak mayat di mana-mana." Aku mengiyakan.

Mendadak Albert diam. Kami langsung terjebak suasana sunyi yang menurutku agak canggung.

"Radio lo masih berfungsi?" tanyanya seraya memeriksa radio kancing sendiri.

Aku mengecek radio di seragamku, mendapat balasan sunyi dari ujung lain balasan. Kucabut radio kancing itu dengan kesal. "Nggak."

Albert melakukan hal yang sama. "Gue juga." Lantas diinjaknya radio itu dengan kekesalan yang sama.

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang