8. Nara: Di Luar Rencana

1.4K 192 46
                                    

[PRAKATA]

Mohon dilihat lagi chapter 4.Jebakan. 

Dikarenakan ada cacat logika, isi chapter tersebut diubah. Untuk kenyamanannya, silakan baca chapter itu dulu, baru ke sini ya.

Sekali lagi mohon maaf.

-

"Coba kamu ulangi lagi ucapanmu tadi."

"Eka pergi ke Tasikmalaya. Dia belum kembali sejak dua minggu lalu." Di seberang sambungan telepon, suara itu bergaung dengan nada tenang, nyaris tanpa ekspresi. Mirip dengan suaraku tadi, hanya tidak ada unsur kemurkaan yang tertahan di dalamnya.

"Dan kemana kamu memberitahunya untuk pergi?"

"Bandung."

Positif. Tasikmalaya hanyalah kamuflase gadis tengik itu untuk bisa pergi ke Bandung. Dia tahu ibukota propinsi itu tidak akan bisa dimasuki lewat jalur apapun sehingga ia memanfaatkan penerbangan domestik terdekat.

Bahkan di kepalaku sudah ada bayangan gadis itu dengan gaya tak ubahnya monyet pencuri kelapa, melewati semua sistem keamanan di Bandung yang berlapis.

Anak itu benar-bensr tak bisa didiamkan barang sebulan saja.

"Lalu..." Segenap tenaga, kujaga agar amarahku yang siap meletus ini tidak bocor ke dalam suaraku. "Kenapa kamu memberikan info kalau Ariyuda Caiden ada di Bandung?"

Diam.

Hampir saja aku meledak di sambungan telepon ketika akhirnya ada jawaban.

"Posisi kami sama. Gue nggak bisa diem aja."

"Dilihat dari manapun, posisi kalian tidak sama, Albert." tegasku dengan suara kejam. "Kamu mencari Klaus karena mau menolong saudaramu. Eka mencari Ariyuda untuk dibunuh. Kalau..."

Kalau saja Eka menemukan Ariyuda Caiden dan membunuhnya, selamanya lingkaran rumit ini tidak akan pernah selesai dan aku akan didera rasa bersalah tak berkesudahan untuk kedua kalinya. Mana bisa aku mengatakan hal yang begitu memalukan ke telinga seorang manusia. Tidak. Jangan pikirkan itu dulu. Yang penting keberadaan Eka dulu. Ini sudah dua minggu berlalu dan belum ada kabar dari gadis itu.

"Apa dia sudah sampai di checkpoint perbatasan?"

"Ya."

"Kapan dia chdck in kepropinsi Jawa Barat?"

"Di hari yang sama."

Itu bukan info bagus. Dia secara resmi sudah hilang selama dua minggu. Kalau begini, aku bisa mengasumsikan bahwa dia sudah sampai di Tasikmalaya di hari yang sama pula. Dia kuduga belum sampai ke Bandung. Kota itu ditutup untuk warga sipil. Kudengar dari Albert dia diskors di hari keberangkatannya ke Bandung, jadi dia pasti masuk ke sana sebagai warga sipil. Tidak mungkin ada warga sipil yang bisa masuk secara diam-diam ke Bandung dengan barikade seketat itu. Dan kalau ada masalah sekecil apapun di perbatasan Bandung, aku pasti akan dengar. Nyatanya hingga kini tidak ada masalah apapun yang sampai ke telingaku. Yang artinya hanya berarti satu: Eka belum sampai Bandung. Tapi dia belum juga kembali ke Jogjakarta selama dua minggu.

Tidak salah lagi. Ada sesuatu yang terjadi padanya di jalan.

"Terima kasih atas infonya, Albert."

Diam lagi di seberang sambungan.

"Eka bukan gadis lemah," ucapnya.

Eka bukan gadis lemah? Secara tubuh ya, tapi secara psikis... aku kurang yakin. "Aku tahu." Kututup sambungan telepon itu dan berusaha sekuat tenaga untuk hanya menaruhnya di atas meja, bukan membantingnya sampai hancur lebur.

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang