Prolog

5.3K 304 38
                                    

Ribuan wajah yang tidak kukenal duduk di undakan serupa Colosseum. Ribuan pasang mata merah menyala dalam cahaya remang menatap kami, para manusia, dengan dagu terangkat. Keangkuhan tercetak dalam setiap gerak-gerik mereka, sikap tubuh mereka, dan cara pandang mereka.

Aku tidak akan salah mengenali cara pandang itu di mana pun.

Itu tatapan merendahkan.

Aruna-aruna itu jelas merasa lebih tinggi dari kami. Lebih tinggi secara derajat. Secara posisi.

Padahal nyatanya yang tinggi dari mereka hanya posisi duduk saja. Sisanya, mereka tidak lebih dari para budak buta dan tuli yang harus kukalahkan di sini. Sama-sama tolol. Sama-sama rendahnya.

Sekali lagi, di bawah tatapan rendah para aruna itu, suara-suara dan kilasan suram dari masa lalu yang tak kukenal menyeruak hadir. Warna merah, kegelapan, rasa sakit yang tidak kukenal, rasa malu yang tidak nyaman, dan keinginan membunuh yang menggebu entah kenapa, menggerogotiku dalam sekejap.

"Bunuh mereka!"

Mataku terpancang ke salah satu aruna. Di tengah ribuan populasinya, ia tampak seperti lebah madu yang tersasar ke sarang lebah pemburu. Dia tampak mencolok kendati tidak ada satu pun dari tubuhnya yang tampak mahal ataupun mewah. Ia tidak memakai pakaian berlebihan. Hanya setelan hitam tanpa dasi ataupun formalitas lainnya. Tapi ekspresi bosan dan tidak minatnya menjadi satu hal yang mencolok di tengah banyak seringai yang mencoba menikmati pembantaian para budak di bawah sini.

Dia tidak sedikit pun berusaha berbaur atau berpura-pura senang di sini. Dengan kata lain, ia seakan sedang mencoba mencari musuh yang berani menantangnya terang-terangan. Bukan kebijakan politik yang bagus untuk seorang dengan status kekuatan tinggi seperti dirinya. Bisa dibilang, dibanding yang lain, dia yang paling tampak manusiawi—walaupun ia tidak pernah menjadi manusia.

Tapi itu tidak mengubah niatanku untuk membunuhnya setelah semua ini selesai.

Jadi kuacungkan pedang ke arahnya, lalu kuarahkan mata pedang itu ke dekat leher, memberinya isyarat terang-terangan. Beberapa aruna mengernyit jijik, tapi aruna itu, majikanku, sama sekali tidak memberi reaksi.

Seperti biasa.

Berengsek!

"Baiklah, para prajurit kami yang terhormat!" Pembawa acara sinting itu kembali bersuara lantang. Aku berbalik dari undakan penonton ke podium tinggi tempat pembawa acara berdiri tanpa takut. "Saatnya babak final dimulai!"

Di depan pintu biru, tepat di seberangku, enam orang dengan postur tubuh berbeda-beda, bertopeng karung tepung, dan berbaju mirip pasien rumah sakit jiwa kelas berat menunggu dengan sabar di balik pagar otomatis. Rajutan senyum di kantung-kantung wajah mereka menyapaku dingin. Bahkan dari titik tempatku berdiri, bau busuk mereka tercium sangat kuat.

Layar raksasa turun dari langit-langit. Kemudian, wajahku dan enam orang itu tampil di leyar raksasa di atas pertandingan.

"Akan saya ingatkan sekali lagi! Pemenang dari pertandingan ini berhak dikabulkan satu keinginannya kepada majikan mereka masing-masing! Harta, tempat tinggal, bahkan pakta kebebasan bisa mereka raih sekarang!" Pembawa acara itu melanjutkan dengan suara semakin menggebu. "Nah, tanpa berbasa-basi lagi, kita mulai hitung mundur pertandingan finalnya!"

Satu bilah katana siap di tanganku. Layar raksasa di atas kami menyala dalam hitungan mundur, mulai dari lima. Pembawa acara itu berteriak pada setiap hitungan.

"Lima!"

"Empat!"

"Tiga!"

"Dua!"

"Satu!"

Pagar di hadapanku diturunkan dan saat itu juga, aku melompat ke depan, bersamaan dengan enam orang gila yang sudah menungguku di depan sana.

***

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang