41. Ruang Kendali

1K 160 60
                                    

Mataku membelalak tak percaya melihat makhluk-makhluk penghuni sel itu. Suara raungan mereka mirip rintihan makhluk menderita, namun di sisi lain juga terdengar sangat mengerikan, penuh kemarahan dan kelaparan.

Wujud mereka tak lebih baik dari suara mereka yang parau. Tubuh mereka hanya terdiri dari otot tanpa kulit. Serat-serat dan tendon mereka tampak jelas. Sepasang mata yang mencuat dari balik otot-otot itu tampak memiliki iris berwarna merah dengan sklera berwarna merah darah.

Mereka tidak berambut sehingga sulit dibedakan mana jantan dan betina. Tidak ada pula ciri fisik yang membedakan jenis kelamin mereka. Seakan mereka tak punya jenis kelamin tertentu.

Tidak ada hidung di wajah makhluk-makhluk ini. Hanya ada tiga pasang katup mirip insang yang terus membuka dan menutup di bagian seharusnya hidung berada.

Kuku-kuku tangan mereka digantikan cakar-cakar mereka berwarna hitam legam dengan ukuran dua kali jari normal. Cakar-cakar itu mencakar-cakari dinding jeruji dan melepuh tanpa henti. Meski jari dan kuku mereka melepuh hingga mengeluarkan asap, makhluk-makhluk itu terus dan terus mencakari jeruji lagi dan lagi, seperti makhluk tak berakal.

Sepasang taring mencuat dari dalam mulut mereka yang merintih dan hanya itu. Maksudku, mereka hanya punya taring. Tidak ada yang lain. Kutatap sepasang taring pucat itu lama-lama sampai tiba-tiba saja taring itu meluncur dan berada dekat sekali dengan wajahku.

Pedangku tercabut dari sarungnya. Tanganku secara refleks berayun, menebas apapun yang tadi menyerang. Darah memancar dan terdengar bunyi berkelepak. Tanganku merasa telah membelah sesuatu. Salah satu makhluk merintih semakin keras, terdengar kesakitan dan mundur ke bagian kandang yang lebih dalam dengan mulut mengeluarkan cairan berwarna hitam pekat. Pembelaan diriku barusan malah membuat makhluk-makhluk yang lain merangsek maju dan benda-benda menjijikkan yang kulihat mirip lidah yang menjulur panjang itu menyerangku lagi. Kali ini lebih banyak.

Pedangku mengayun, namun kemudian tubuhku ditarik ke belakang. Pak Riza beringsut ke depan, menarik sebilah pedang tipis berwarna hitam legam dari balik mantel hitamnya. Dengan gerakan cepat yang hampir tak bisa tertangkap mata, ia menebas semua lidah yang menjulur itu dalam hitungan detik.

Hujan darah hitam membasahi lantai. Organ-organ entah apa namanya itu berjatuhan sebanyak daun-daun yang meranggas dari pohon jati. Mereka menggelepar-gelepar di lantai seperti ikan kehabisan oksigen sebelum perlahan berhenti bergerak, menyisakan denyut kehidupan yang perlahan mati.

Di belakangnya, aku mengamati organ-apapun-itu yang berjatuhan itu dengan horor.

Bentuknya seperti belalai, tapi tidak ada belalai yang bisa menjulur demikian cepat seperti lidah reptil. Keningku berkerut melihat sepasang taring yang melengkung di ujungnya yang hampir mengenai wajahku. Bentuknya mirip kait dan dari jumlahnya yang sepasang mirip taring aruna umum, sepertinya itu taring mereka.

Taring.

Kenyataan itu membuat seluruh sel otakku berpikir keras.

Sepasang taring itu, entah bagaimana tertanam di ujung organ mirip lidah bunglon yang bisa menjulur keluar, menjangkau hingga puluhan senti jauhnya. Juluran yang mengingatkanku pada penyengat yang dimiliki nyamuk itu menjulur mengincar permukaan kulit yang terbuka. Juluran dari mereka yang berada di sel atas beberapa kali hampir mencapai kepala pak Riza. Mereka pasti bisa mencapai pria itu seandainya ayunan cepat dari tangan Dua Belas Pilar terkuat itu tidak menebas taring-taring juluran mereka lebih dulu.

Organ-organ masih menggelepar-gelepar di lantai dengan darah berwarna nyaris hitam keluar dari daerah perpotongannya.

Raungan dan rintihan kesakitan makhluk nonmanusia memenuhi lantai yang sepi itu. Raungan kesakitan itu dalam sekejap berubah menjadi raungan marah. Makhluk-makhluk itu semakin ganas menyerang pak Riza. Dari dalam, mereka mulai menghantamkan tubuh-tubuh mereka sendiri ke jeruji, membuat tubuh tanpa kulit mereka melepuh dan meleleh terkena jeruji, namun seperti sebelumnya, seolah tidak merasakan sakit, mereka terus membenturkan tubuh ke jeruji bersamaan, membuat jeruji kokoh itu bergetar dan mengancam akan jebol dalam waktu dekat.

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang