"Si tudung merah kecil akhirnya sendirian di hutan..." Terdengar suara tawa di belakangku.

Aku langsung mengarahkan katana ke belakang. Ada seseorang yang menangkap senjataku. Bunyi desis terdengar. Aku pun menoleh.

"Manis, senjata ini terlalu berbahaya untukmu." Aruna pejantan itu menggenggam bilah katanaku. Meski kutarik kuat-kuat, dia hanya bergeming, menegaskan parit dalam antara kekuatan fisik kami berdua. Dia menyeringai dan menjilat bibir sendiri. "Percuma mau melawanku," cibirnya. "Kalau kamu mau menurut, aku akan membiarkanmu hidup, dan malah kita akan bersenang-senang nanti. Mau kan?"

Aku menghentak kaki satu kali, melepaskan pisau rahasia yang ada di ujung sepatu. Kulepaskan genggaman pada katanaku dan berputar ke belakang. Dengan kaki terangkat, ujung pisauku membelah dengan sempurna tenggorokan aruna pejantan bermulut kurang ajar itu. Darah kehitaman memancar menciprati wajahku saat pisau di kakiku berhasil menggorok nadi karotisnya. Sekali lagi aku menggenggam pedang dan menuntaskan tebasan yang tidak selesai tadi. Ayunan ke arah kiri yang kulancarkan sukses memotong kepala beserta jari jemarinya yang nekat menggenggam senjataku. Lebih banyak darah memancar saat kepala itu terpisah dari badannya. Tanpa nyawa, tubuh itu jatuh ke samping.

Bayangan dan ilusi mata yang melingkupi mataku lenyap seiring dengan jelasnya bersihnya jarak pandang. Daun-daun dan ranting telah berhenti berjatuhan. Aku segera berlari ke tempat bau darah ini berasal sambil terus berharap.

Syukurlah karena aku tidak pernah membiarkan diriku berharap terlalu banyak.

Lautan merah menggenang, ujungnya menganak sungai perlahan mengalir mendekatiku, seperti mengajakku ikut serta terbujur kaku ke dalam kubangan darah itu bersama beberapa tubuh tak bergerak yang kulitnya melepuh dan terbakar di bawah sinar matahari yang tergeletak di dalam sana.

Albert berdiri seorang diri di tengah kubangan darah itu, di antara mayat-mayat aruna tanpa gemetar sama sekali. Wajah, seragam, dan senjatanya berlumuran darah. Sosoknya yang tenang tanpa ekspresi di atas kolam darah itu berbeda dengan pemuda anggota ranking C yang kukenal. Aku melangkahi beberapa mayat untuk mendekati Albert, mendekati pemuda yang mengusap darah dari wajah dengan sorot tanpa ekspresi itu.

"Mana yang lain?" tanyaku, tak bisa untuk tidak prihatin.

"Ada lima yang selamat. Tapi mereka langsung lari," jelas Albert. "Berharap saja mereka selamat sampai ke regu lain."

"Doa yang sia-sia."

Kami berdua, bersama-sama, menengadah ke arah sumber suara. Di atas salah satu dahan pohon, satu betina berjongkok dengan santai mengamati kami berdua. Dia menyeringai, memamerkan deretan giginya yang berlumuran darah. Seringai dan cara pandang matanya tidak berbeda dari singa yang bahagia mendapati tikus yang diincar ternyata terperangkap dalam jebakan. Ia menjilati bibir sendiri.

"Kalian berharap ada makanan yang sia-sia di sini? Jangan bercanda!" Betina itu mengeluarkan tangannya yang lain, yang tersembunyi di balik punggung, menunjukkan kepala seorang pria yang kukenali sebagai salah satu dari kami. Dengan enteng, dia mengayun-ayunkan kepala itu tak ubahnay seperti seorang anak kecil mengayun-ayunkan bandul mainan. Dari leher kepala pria malang itu masih mengalir darah segar, yang tentu saja tidak disia-siakan.

Bagai hewan buas, dengan taringnya, betina itu mengoyak daging leher kepala itu, memancing lebih banyak darah yang keluar. Aku menjengit jijik mendengar suara daging yang tercabik dan tulang yang hancur dalam setiap kunyahan yang dilakukan sang betina. Sungguh aku lebih dari sekali mendengar kalau produk gagal itu menjijikkan, tapi baru kali ini aku benar menyerap ungkapan itu.

Cara makan mereka benar-benar tak ada bedanya dengan binatang.

"Vulgar." Alber berkomentar. Cukup dengan satu komentar singkat itu, kegiatan makan betina itu berhenti. Seringai lenyap dari wajahnya.

Blood and FaithWhere stories live. Discover now