III. Jangan Bantu Aku

105K 7.5K 417
                                    

Seperti perpustaakan di sekolah lainnya, suasana perpustakaan di sekolah ini juga sangat hening apalagi pustakawati garang, Rahayu, selalu mengawasi perpustakaan ini. Telinganya sangat peka dengan suara-suara yang keluar di dalam perpustakaan ini. Ada lima peraturan utama di sini. Pertama, dilarang berbicara lebih dari dua puluh Hz. Kedua, hanya boleh meminjam buku sehari. Ketiga, buku hilang atau rusak, bayar ganti tiga kali harga buku. Keempat, kartu perpustakaan hilang atau rusak bayar seratus ribu. Terakhir, dilarang PDKT, pacaran atau sejenisnya.

Anindita menatap Jingga yang duduk sendirian di salah satu meja baca. Tidak ada Raya di sana, jadi ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendekati Jingga. Namun tetap saja, Anindita masih tidak berani. Anindita hanya mengintip dari rak buku yang ada di belakang Jingga. Anindita mengambil sebuah buku asal sebagai alibi pada Rahayu.

"Kenapa sih di perpustakaan dilarang PDKT?" tanya Anindita dengan berbisik. Matanya tidak lepas dari Jingga.

"Mungkin karena Bu Rahayu belum nikah sampai sekarang," jawab Adila dengan nada yang sama seperti Anindita. Memang itu faktanya, Rahayu sudah berusia 40 tahun lebih tapi belum menikah sampai sekarang.

"Dia lagi baca apa ya?" Anindita berjinjit mencoba melihat buku apa yang sedang dibaca oleh Jingga.

"Udah, deketin aja sana." Adila mendorong Anindita maju hingga Anindita berada di samping Jingga.

"Adila sialan!" umpat Anindita dalam hatinya. Jingga menatap Anindita yang berdiri di sampingnya. "Kamu cewek yang kemarin 'kan?"

"Eh, iya," jawab Anindita. Dia meremas roknya gugup. "Saya boleh duduk di samping kamu?"

Jingga mengangguk tanpa menatap Anindita. Dia hanya fokus pada buku yang sedang ia baca sekarang. Anindita membuka buku yang ia bawa tapi matanya terfokus pada wajah Jingga. Anindita tidak bisa berpaling dari itu. "Kamu suka baca buku juga?" tanya Jingga. Kali ini dia menatap Anindita.

"Sedikit sih." Anindita menjawab asal. Dia segera membeku setelah tertangkap basah oleh Jingga.

"Kamu suka baca bukunya Pramoedya Ananta Toer juga?" Jingga mengambil buku yang ada di hadapan Anindita. Anindita hanya mengangguk kaku sambil menggaruk tengkuknya. Takut Jingga mengeluarkan kata pedasnya lagi. Dia buta tentang buku dan penulis. Ada banyak buku di rumahnya tapi Anindita tidak suka membaca itu. Siapa Pramoedya Ananta Toer saja, Anindita tidak tahu.

"Oh iya, kita belum kenalan." Jingga mengulurkan tangannya ke arah Anindita tanda perkenalan. "Saya Jingga."

"Anindita." Anindita menjabat tangan Jingga seraya tersenyum. 'Kamu tahu, Jingga? Kita pernah kenalan dulu.'

Jingga menarik tangannya dan kembali fokus pada buku yang ia baca. Anindita tersenyum menatap Jingga dan mengepalkan tangannya senang. Jingga berkata pedas saat pelajaran Fisika saja. Hari ini, Jingga mengajaknya berkenalan. Hari ini, Jingga dan dirinya berjabat tangan. Anindita melirik ke arah buku yang sedang Jingga baca. 'Gadis Pantai'.

"Jingg-"

"Jingga!"

Anindita memanggil Jingga tapi ada orang lain yang sudah memanggil Jingga dengan suara yang lebih keras. Jingga menoleh ke arah sumber suara, Raya. Rahayu segera menatap Raya dengan geram. Peraturan sudah tertulis dengan jelas dan besar di tembok. Namun Rahayu juga bosan mengingatkan Raya yang selalu berteriak memanggil Jingga di perpustakaan. Raya menghampiri Jingga.

Raya menatap Anindita sinis. "Ngapain lo di sini?"

"Baca buku," jawab Anindita.

"Harus ya di sebelah Jingga?"

"Udahlah, Ray," kesal Jingga. "Kamu mau satu sekolahan ngejauhin aku gara-gara kamu?" Jingga menutup buku yang sedang ia baca itu dengan kasar lalu mengembalikannya ke rak buku dan segera keluar meninggalkan Raya.

PelukableWhere stories live. Discover now