#6 - Gelisah

264 63 52
                                    

"Ayah tumben banget anterin aku ke sekolah," kataku tiba-tiba, mengusir rasa kantuk saat berada di dalam mobil jeep yang sedang melaju kencang di jalan tol. "Biasanya juga nyuruh aku naik ojek online."

"Ayah lagi ada urusan kerja sama orang nih. Makanya sekalian nganterin kamu sekolah," kata Ayah dengan serius, tetap fokus dari belakang kemudinya. "Kalau nggak ada urusan kayak gini, Ayah juga ogah nganterin kamu."

Aku langsung menoleh skeptis ke Ayah, mengernyit.

Ayah tiba-tiba tertawa kecil. "Gimana kamu lukanya? Udah mendingan?"

Hari itu tepat sehari setelah insiden bibir berdarah. Aku belum menyadari hal itu sejak bangun tidur pagi tadi. Mendengar pertanyaan ayah, aku refleks menggerakkan lidahku ke arah luka. Ah, perih! Pasti sariawan.

Memori tentang kejadian kemarin di lapangan terputar di otakku. Oh iya! Bagaimana kabar Anindya? Sampai detik ini aku masih belum menemukan jawabannya. Sepulang ekskul kemarin, aku tak menemukan siapa-siapa lagi di ujung lapangan itu—bahkan Friska dan geng-nya sekalipun. Ada dua kemungkinan di sini. Yang pertama Anindya sudah pulang dengan selamat, dan yang kedua Anindya dibawa Friska dan teman-temannya ke suatu tempat untuk di-bully. Ya Tuhan, apa gadis itu benar baik-baik saja?

"Kal, gimana itu lukanya?" Suara berat Ayah segera menyadarkanku. "Ditanyain orang kok malah ngelamun?"

"Eh—lukanya ya... darah udah nggak keluar lagi sih, tapi malah jadi sariawan. Mana kayaknya gede banget, Yah. Tapi nggak begitu sakit sih pas lagi ngomong,"

Ayah menoleh ke arahku. "Agak bengkak ya? Pokoknya kamu harus sering-sering minum air putih sama makan jeruk deh. Paling 2 sampai 3 hari lagi udah hilang," Ayah berkata dengan nada yang seolah mirip dokter. "Oh iya. Besok sampai hari Minggu, Ayah mau ke kampung, mau ngecek kebon."

"Naik apa?"

"Kereta."

"Ooh, kenapa nggak pake mobil ini?"

"Ayah lagi males bawa mobil. Mendingan naik kereta, bisa tidur, main HP, segala macem. Lagipula Ayah lagi nggak punya banyak urusan kok di sana."

Aku mengangguk paham. "Hati-hati besok, Yah."

Perjalanan dari rumah menuju sekolah kali ini hanya memakan waktu lima belas menit. Aku langsung mengambil tas yang ditaruh di jok belakang, menyalami Ayah, dan segera turun dari mobil.

Langsung kupercepat langkah menuju kelasku di lantai tiga. Begitu membuka pintu kelas, aku mendapati dua anak perempuan sedang mengobrol di meja terdepan. Yang satu memakai jilbab, dan yang lain berambut sebahu. Sontak mataku menjelajahi seluruh penjuru kelas. Tidak ada Anindya di sana. Hanya kami bertiga yang berada di kelas itu.

"Kenapa Kal? Nyari siapa?" Si perempuan berjilbab bertanya ketika aku mulai melangkah masuk.

Lagi-lagi aku harus mencari alasan lain. "Nggak kok. Cuma heran aja baru sedikit banget yang udah dateng."

"Ya emang begini. Orang lo biasanya dateng sepuluh menit sebelum bel, ya jelas lo heran." Perempuan dengan rambut sebahu menimpali.

Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul 5.50. Mungkin ada benarnya juga perkataannya itu. Memang betul, aku selalu datang kira-kira sepuluh menit sebelum bel karena harus bermacet-macetan dulu di jalan dengan ojek. Ah, mungkin Anindya memang masih berada di jalan. Aku harus berpikir positif.

"Kok bibir lo bengkak, Kal?" tanya si perempuan berjilbab ketika aku baru saja menaruh diriku di kursi yang berada di barisan tengah.

"Iya, biasalah. Kemaren abis taekwondo," kataku mencoba santai.

Gelapnya SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang