#2 - Jumpa yang Tak Terduga

579 138 147
                                    

Sudah lebih dari lima menit, aku berdiri di hadapan sebuah cermin datar di kamar—setidaknya itu yang dikatakan Ibu. Aku dapat merasakan kehadiran orang-orang di sekelilingku—Ayah, Ibu, Amelia, Fattah, dan Paman Zul.

Aku berani bertaruh kedua adikku pasti sedang berada dekat denganku. Sosok mereka yang pendek dan mungil dapat tergambar jelas di pikiranku. Ayah dan Paman Zul terdengar sedang mengobrol beberapa meter jauhnya.

Aku menggerak-gerakan kaki kananku pelan, berharap pegal yang melanda cepat mereda; sementara Ibu sibuk mendandaniku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pikiranku bergumul, bagaimana rupaku sekarang?

Meskipun kedengarannya konyol, aku memutuskan untuk bertanya pelan, "Ibu, aku udah ganteng belom?"

Ibu berdeham namun tidak menjawab setelah kutunggu suaranya sepersekian detik. Mungkin Ibu sedang menahan tawa mendengar kata-kataku itu. Tangannya masih asyik mengutak-atik rambutku. Aku dapat merasakan sisirannya yang mengarah ke atas dari bagian depan kepalaku. Rasa penasaranku semakin meninggi.

"Udah ganteng kok, Kak. Mirip Justin Bieber!" kata Amelia semangat.

Aku tak percaya dengan perkataannya. Amelia sangat mengidolakan Justin Bieber sejak dulu. Pasti dia memilih idolanya itu sebagai perbandingan terdekatnya.

"Masa sih? Boong ah, kamu."

"Beneran mirip Justin Bieber, Kak!" sahut Fattah, sebelum kemudian ia berbisik dengan cukup keras. "Justin Bieber itu cowok yang ada di poster-poster di kamar Kak Amel kan?"

Aku dan Ibu tertawa. Betapa polosnya tingkah laku anak kecil itu!

Ibu kemudian memasangkan dasi kupu-kupu di kemejaku dengan cukup kencang dan jas ke tubuhku. Jasnya terasa nyaman dan pas. Sekarang, sudah sepenuhnya aku memakai setelan. Bagaimana penampilanku sekarang? Bagaimana kesan pertama Raisa terhadapku nanti? Tentu, aku sangat ingin tampil sempurna bukan hanya di depan Raisa melainkan di depan seluruh pengunjung resort. Kesan pertama sangatlah penting.

"Nah, kita selesai!" kata Ibu yang berdiri di hadapanku memegang kedua bahuku, sepertinya ia tengah memerhatikan wajahku. Aku pun tersenyum. "Ah, inikah putra Ibu? Tampannya dirimu, Nak...."

Dari sampingku, terdengar suara langkah sepatu bersaut-sautan. Aku yakin Ayah dan Paman Zul sedang berjalan mendekat.

"Wah, keponakan Paman sudah jadi bujangan ya?" kata Paman Zul. "Pangling sekali!"

"Nggak terasa anak kita udah sebesar ini ya, Bu?" kata Ayah.

Entah mengapa, aku terkejut mendengar kata-kata Ayah. Perasaan tak mengenakkan bergejolak di dalam perutku. Seolah kata-kata itu melilit lambungku. Kata-kata itu terdengar sangat mengharukan. Enam belas tahun hidup sebagai anak pertama bukanlah hal yang mudah. Anak pertama adalah harapan terbesar orang tua dan pemimpin bagi adik-adiknya. Bagaimana caranya aku dapat menjadi seperti itu lagi?

Ibu tiba-tiba menyemprotkan parfum berkali-kali ke seluruh tubuhku. Meskipun menurutku aromanya enak, tetap saja aku berusaha menghindar dari semprotannya.

"Ah, sudah Bu! Sudah!" kataku cukup keras. Apakah nada bicaraku cukup membentak? Semoga saja tidak. Aku tak ingin mendapatkan kesan norak di sana nanti—bahwa aku memakai parfum berlebihan.

Seseorang kemudian mengambil sepatu dan meletakkannya di depanku. Dengan bantuan Ayah, aku memakaikannya ke kedua kakiku. Sepatunya terasa pas dan berhak. Sepasang sepatu pantofel. Aku sendiri tak dapat berjalan dengan mudah saat memakai sepatu biasa, bagaimana caranya aku berjalan dengan menggunakan sepatu ini?

"Tenang, Kal. Ayah akan menuntunmu kok," kata Ayah seakan baru saja membaca pikiranku. Bagaimana Ayah bisa tahu? Apa raut wajahku berubah? "Percayakan semuanya pada Ayah."

Gelapnya SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang