#4 - Teman Baik

418 118 69
                                    

Dua bulan setelah pertemuan tak terduga di resort itu, aku duduk di atas tempat tidurku. Sambil menyantap sarapan yang dibuat Ibu, aku menikmati dentuman alunan musik dari radio yang diletakkan di atas meja belajar.

Kamarku tak begitu luas, hanya berukuran 5 x 5 meter dengan tinggi 3 meter. Dindingnya dicat biru laut, warna kesukaannku. Lantainya hanya ditutupi ubin putih biasa seperti lantai kebanyakan. Hanya ada sedikit perabot di ruangan ini. Satu buah lemari, satu tempat tidur, satu piano digital dan satu meja belajar lengkap dengan kursinya. Setidaknya itu yang kuingat.

Ayah telah memindahkan barang-barang yang tak begitu penting ke ruangan lain. Seperti rak buku yang mana dulu menyimpan koleksi komikku dan lemari kecil yang biasanya terletak di samping tempat tidur. Hal itu tentu dimaksudkan agar aku yang kini buta dapat bergerak tanpa khawatir menabrak barang-barang itu.

"Bu... Ibu..." Aku berseru. "Makanannya udah habis, Bu."

Beberapa detik kemudian, terdengar suara keriut. Pintu kamar mengayun terbuka. Aku merasakan aura kehadiran lembut yang akrab. Ibu tanpa basa-basi langsung mengambil piring melamin kosong itu dari tanganku dan menaruhnya di atas nampan yang sedari tadi tergeletak di sampingku.

Sebelum Ibu beranjak pergi keluar kamar, aku mencolek tubuhnya. Sambil nyengir ke arahnya, botol minum plastik yang kosong kugoyang-goyangkan.

"Udah habis juga ya, Kal?" Ibu mengambil botol minum itu dan menaruhnya ke atas nampan. "Sebentar ya, nanti Ibu isiin."

"Maaf ngerepotin mulu, Bu."

"Apa sih kamu ngomongnya begitu mulu!" Ibu menegurku.

Setiap kali aku meminta tolong, kata-kata itu selalu terlontar dari mulutku. Tapi aku sadar kata-kataku itu memang benar. Dan aku tahu Ibu tak pernah menanggapi serius perkataanku itu. Andai saja aku bisa melihat lagi, tak merepotkan orang lagi, menjadi harapan terbesar orang tua lagi.

Tepat saat Ibu menutup pintu kamar, aku beranjak bangun dari tempat tidur. Tak lupa aku mengambil tongkat penuntun dan mulai berjalan ke ujung ruangan—tempat di mana terdapat sebuah piano digital baru yang diberi Ayah sebagai hadiah ulangtahunku. Piano lama yang diberi Ayah sewaktu aku kecil masih tersimpan baik di gudang—setidaknya itu yang dibilang Ayah. Aku melarang siapapun untuk menjualnya. Setua atau seusang apapun, piano itu tetaplah menjadi bagian dari masa kecilku.

Satu-dua lagu kumainkan. Jemariku menari dengan anggun di atas tuts piano baru itu. Kuhayati setiap alunan nada-nada indah yang tercipta.

Inilah tipikal kegiatan di hari libur bagi seorang penyandang tunanetra sepertiku ini. Entah apa yang dilakukan tunanetra lain di luar sana, namun aku punya cara tersendiri dalam menikmati hari libur.

Permainan pianoku terhenti ketika aku mendengar seseorang datang membuka pintu kamarku lagi. Ibu. Tangan lembutnya menyergap tanganku, mengarahkannya ke botol minum plastik penuh air.

Sejak aku buta, semua peralatan yang kugunakan terbuat dari plastik atau bahan apapun yang tidak mudah pecah dan tidak membahayakan. Karena pernah suatu ketika, sehabis menyantap makanan menggunakan piring beling dan garpu stainless, aku berniat untuk menaruhnya ke dapur. Di tengah perjalanan, tanpa disadari aku menabrak sesuatu yang solid—lemari pajangan. Lantas piring tersebut jatuh dari genggamanku dan garpunya mendarat secara vertikal ke punggung kakiku. Cukup sakit memang. Tak mau kejadian itu terulang kembali, maka, Ibu langsung mengganti seluruh peralatan makanku keesokan harinya.

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama." Ibu mengusap kepalaku lembut. "Gimana nih piano barunya?"

"Pokoknya mantap banget deh, Bu. Lihat, sekarang aku sudah bisa memainkan ini."

Gelapnya SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang