#3 - Awal Mula

470 127 94
                                    

Flashback starts.

Setiap orang pasti pernah mengalami fase perubahan. Entah berubah dari baik menjadi buruk, atau sebaliknya. Entah berubah secara psikis atau secara fisik. Entah berubah secara alami atau atas dasar keingingan kita. Yang jelas perubahan pasti akan mengantarkan kita untuk menghadapi hal-hal baru, tak peduli apa jenisnya perubahan itu.

Begitupula yang terjadi denganku. Memasuki masa SMA ini, aku ingin mencoba hal-hal baru. Banyak orang yang bilang masa SMA itu adalah masa-masa terindah seumur hidup kita. Benarkah begitu?

Lulus dengan nilai ujian nasional yang bagus, Ayah mendaftarkanku ke salah satu sekolah menengah atas negeri ternama di Jakarta. Dan itu berarti aku harus berpisah sekolah dengan teman-teman SMP-ku dulu. Walaupun ini sekolah negeri, bisa dibilang sekolah ini termasuk sekolah elit. Banyak mobil-mobil mewah milik para orang tua siswa keluar masuk setiap harinya hanya untuk mengantarkan maupun menjemput anak-anaknya.

Sehari sebelum masuk sekolah, aku tak bisa berhenti membayangkan bagaimana rupanya sekolahku nanti. Aku terus membayangkan anak-anak yang seru, fasilitas yang lengkap, dan tentunya perempuan-perempuan cantik. Setelah putus dengan teman SMP, aku berpikir inilah saat yang tepat untuk menggaet perempuan baru. Kelihatan brengsek memang. Tapi aku melakukan ini karena suatu alasan. Aku ingin berusaha melupakan kenangan-kenangan bersama mantanku yang dulu itu.

Di hari pertama Masa Orientasi Siswa, kami—para siswa baru—diharuskan membawa berbagai peralatan konyol permintaan para kakak OSIS. Mulai dari papan nama dari kardus, topi kerucut dari koran, bahkan makanan yang diberi nama-nama aneh untuk dibawa.

MOS memang selalu membawa kenangan lucu tersendiri. Di saat itulah, aku menemukan teman sebangku baru yang sekaligus akan menjadi sahabatku, Daniel. Dari awal kenal, aku bisa menebak bahwa dia orang yang lucu dan sangat terbuka. Tingginya kira-kira 165 cm, kulitnya sawo matang, berambut ikal dan nada bicaranya lantang khas orang Sumatera Utara.

Suatu siang, kami sekelas dikumpulkan di lapangan sekolah. Setiap kelas diharuskan untuk berbaris di tempat yang sudah disediakan lengkap dengan atribut bodoh yang mereka minta. Aku sendiri belum mengenal semua siswa sekelas, hanya Daniel dan beberapa siswa laki-laki. Saat itu cuaca sangat terik, seakan matahari telah dimanipulasi kakak OSIS untuk menambah penderitaan kami para murid baru. Kami semua berdiri di atas aspal panas yang mengilau diterpa sinar sang surya.

"ANGKAT CELANA DAN ROK KALIAN!" teriak salah satu kakak OSIS.

Aku sendiri berpikir bahwa kegiatan ini sama sekali tidak penting. Malah sepertinya kegiatan MOS ini dijadikan sebagai ajang balas dendam dari kakak kelas kepada adik-adiknya. Toh, mereka pernah 'dikerjain' seperti ini sebelumnya. Secara harfiah, Masa Orientasi Siswa seharusnya dapat mengantarkan siswa baru untuk mengenal sekolahnya lebih dalam dengan cara yang nyaman dan asyik. Bukan dikenalkan dengan cara semi-militer seperti ini. Tak ada gunanya bukan?

Mataku menyipit ke depan barisan. Aku berada di barisan paling belakang. Para kakak OSIS sedang berlalu-lalang di depan sana. Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Daniel yang berada di sampingku menoleh padaku, meminta jawaban. Aku hanya menggeleng-geleng putus asa.

Dengan sangat terpaksa, aku mengangkat celana biru SMP-ku dan langsung tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat. Astaga! Aku malah memakai kaos kaki putih, bukan kaos kaki oranye yang mereka minta. Bagaimana aku bisa lupa? Apa yang akan mereka lakukan padaku? Ingin sekali rasanya aku pingsan untuk kabur dari siksa dunia ini.

"YANG NGGAK PAKE KAOS KAKI OREN, MAJU KE DEPAN!" teriaknya lagi.

Mampus! Mau tidak mau, aku harus tetap mematuhi apa yang diperintahkan mereka daripada mendapat masalah baru lagi. Sekitar empat orang dari kelasku maju ke depan lapangan, dua perempuan, dua laki-laki—termasuk aku. Syukurlah, ada temannya.

Gelapnya SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang