#5 - Ouch!

318 73 71
                                    

Di chapter ini terdapat beberapa istilah yang dapat dilihat artinya di bawah chapter.

***

Flashback starts.

Aku tergesa-gesa menuruni anak tangga dari lantai tiga menuju lantai satu. Sekali melangkah, dua anak tangga sekaligus. Saat itu tepat jam 4 dan aku tidak boleh telat untuk tiba di lapangan sekolah. Andai saja guru biologi tadi tidak memberikan tugas merepotkan yang harus diselesaikan hari itu juga, pasti aku sudah tiba di lapangan sejak setengah jam yang lalu.

Tiba di lantai satu, kedua mataku langsung mendapati para taekwondoin1 sudah berbaris di lapangan. Mereka sudah berpakaian rapi, hendak melakukan pemanasan. Sial, aku sudah telat.

Aku langsung berlari menuju toilet laki-laki, tak memedulikan dengan siapa saja aku berpapasan di sepanjang koridor. Lariku terhenti di ambang pintu toilet ketika mendapati lantainya yang sangat basah. Sesosok pria tinggi terlihat tengah jongkok memperbaiki sesuatu di salah satu bilik toilet.

"Mang Jana, kok lantainya licin banget?" tanyaku seraya melangkah pelan masuk ke dalam.

Pria asli Sunda itu menoleh ke arahku. "Iya, maap Mas Haikal. Ini pipanya ada yang bocor."

"Jadi ini air...?" Aku menelan ludah, berhenti melepaskan kancing seragam yang terakhir.

"Eeh, bukan atuh! Ini air bersih. Ada keran yang copot jadi airnya terus keluar. Nah, sekarang udah selesai." Mang Jana beranjak bangun, melangkah keluar menuju sebuah bilik kecil yang menyimpan alat-alat kebersihan.

Lega mendengarnya, aku kemudian lanjut kembali berganti pakaian. Setelah mengenakan dobok2  lengkap, aku langsung menancap gas keluar dari toilet. "Duluan, Mang Jana!"

"Mangga. Hati-hati kepeleset, Mas!"

Tas dan sepatu langsung kuletakkan sembarang di pinggir koridor bersamaan dengan barang anak-anak lain. Sambil merapihkan sabuk biru yang melingkar di pinggang, aku melangkah cepat menuju lapangan.

"Maaf, Sabeum3. Saya telat." Aku berkata pelan kepada salah satu sabeum yang sedang berdiri di belakang mengawasi barisan. Sabeum Ari namanya. Kepalaku hanya bisa tertunduk, tak berani menatap matanya. "Tadi ada urusan sama guru sebentar."

"Ya saya tau," katanya pelan. "Sebagai gantinya, sekarang kamu lari keliling lapangan sepuluh kali, terus push-up lima puluh kali."

"Siap, Sabeum!"

Syukurlah aku hanya dihukum untuk melakukan aktifitas fisik seperti ini. Tidak masalah. Hitung-hitung sebagai pemanasan. Padahal sebelumnya aku mengira akan dihukum lebih berat daripada sekadar lari mengelilingi lapangan dan push-up. Pernah suatu hari ada seseorang yang datang telat, dihukum jalan jongkok mengelilingi lapangan sebanyak 10 kali. Tak dapat kubayang betapa pegal pahanya hari itu. Mengerikan.

"Semangat, Haikal!"

Seorang perempuan berteriak ketika aku sedang push-up untuk kali ke-30. Aku berhenti sejenak, mencari si pemilik suara. Mataku menyipit ke ujung lapangan. Di sana tiga orang perempuan tengah duduk di bangku, asyik menonton anak-anak taekwondo yang sedang berlatih, sambil sesekali tertawa kecil.

Seorang perempuan centil ber-make-up menor dengan rambut bergelombang terus-terusan memandangiku. Sejauh yang aku tahu, ia bernama Friska—anak kelas sebelah yang katanya menyukaiku. Dan di samping Friska adalah pengikutnya yang tak kuketahui namanya.

"Kamu pasti bisa, Haikal ganteng!" teriak salah satu temannya yang bertubuh gemuk. "Friska selalu mendukungmu!"

Apaan sih? Bukannya merasa senang karena sedang diperhatikan dan dipuji, aku malah jadi jengkel. Ada saja ya orang yang punya kepercayaandiri berlebihan seperti itu?

Gelapnya SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang