Photograph I

460 32 14
                                    

trissella (4,66/5)

***

Remang lampu jalan membuat Adrian bisa melihat dengan jelas apa yang ada di genggamannya sekarang. Sepasang senyuman bahagia yang terpatri dalam satu potret lusuh, seolah sudah berulang kali diremas sekuat tenaga. Sudah lima belas menit Adrian bersandar pada tiang lampu jalan, menghisap rokok sembari memandang datar potret dirinya bersama Irish. Untuk ke sekian kalinya, Adrian menikmati nikotin yang melewati tenggorokannya, seolah tak peduli betapa sesak paru-parunya sekarang.

Potret di dalam genggamannya sekarang, adalah hal terakhir yang sengaja Adrian simpan setelah jejak kenangannya bersama Irish berubah menjadi abu. Sesakit apa pun perasaan Adrian saat itu, ia masih tak sanggup untuk melemparkan potret mereka ke dalam bara api. Kebahagiaan yang terpatri di sana masih sangat melekat di benaknya. Benar-benar tak ingin ia tinggalkan, meski rasanya menyesakkan. Untuk kali ini, Adrian ingin percaya bahwa Irish pernah bahagia bersamanya. Bahwa Irish, wanita yang ia cintai, pernah memberi ketulusan padanya. Setidaknya, itu yang ingin Adrian percaya.

Adrian masih ingat, gambar tersebut diambil seminggu sebelum harapannya hancur. Saat itu, mereka—masih—berbahagia, menganggap betapa kehadiran mereka saling melengkapi. Namun, segalanya mendadak berbalik saat kehidupan Adrian direnggut oleh pengkhianatan yang dilakukan pamannya terhadap perusahaan keluarga Adrian. Sekali menjetikkan jari, Adrian segera kehilangan segalanya. Kehidupannya mendadak dipenuhi oleh tangisan mama yang shock berkepanjangan, papa yang jatuh sakit karena tak siap menerima keadaan, juga ... senyuman Irish yang tak lagi menghiasi dunianya.

Adrian tahu, Irish memang selalu mendampinginya di masa tersulit, tapi senyum Irish tak lagi merekah lebar untuknya. Irish-nya tak lagi bahagia. Adrian merasa seperti sedang menggenggam hati Irish yang ikut patah.

Setelah genap tiga bulan Adrian mencecap kepahitan itu, di sinilah ia berada, menggenggam satu-satunya kenangan yang sengaja ia sisakan sebagai tanda bahwa ia mampu melepaskan.

***

Adrian melirik arloji di tangan kiri, pukul delapan tepat. Ada senyuman sinis yang terpatri di wajahnya. Saatnya sudah tiba.

Seiring dengan puntung rokoknya yang mulai memendek, Adrian menghitung pelan detik yang berjalan. Potretnya bersama Irish masih setia di genggaman, sedikit basah karena telapaknya yang berkeringat. Sepertinya Adrian menggenggamnya terlalu erat.

Sudah seminggu ini rutinitasnya selalu sama. Pukul 19.30 ia akan berdiri selama 30 menit di bawah remang lampu jalan untuk menunggu sosok Irish keluar untuk menutup butik yang berada di seberang jalan. Dan saat Irish sudah keluar dari sana, Adrian akan berbalik pulang. Namun malam ini berbeda, Adrian akan dengan sengaja menghentikan langkah Irish untuk terakhir kali. Untuk sekedar mengingatkan Irish tentang kenangan yang pernah mereka miliki.

Saat melihat Irish hampir mencapai pintu butik, Adrian segera memasukkan potret mereka berdua ke dalam saku. Ia melangkah dengan segera, menyeberangi jalan yang tak begitu ramai.

Ada kepuasan yang memenuhi hati pria itu saat melihat Irish menghentikan langkah dengan wajah pias. Adrian bahagia, meski ada kesakitan yang kembali menelusup di dalam dadanya. Keterkejutan itu membuat Adrian sadar bahwa kehadirannya tak pernah diharapkan lagi oleh Irish.

"Hai," sapa Adrian setelah menginjak puntung rokoknya menggunakan ujung sepatu.

Lagi, di hadapannya, Irish terkejut. Tatapan wanita itu terpatri pada sepatu Adrian.

Irish terlihat menelan ludah. "Sekarang ... kamu ...."

Adrian mengangguk. Ada senyuman miring di wajahnya. "Kenapa? Kaget?" Ia bisa melihat bagaimana Irish tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Sembari memandangi kedua mata Irish yang mengerjap pelan, Adrian semakin menguatkan genggamannya di dalam saku. Seolah menyalurkan campuran emosi yang bergejolak di dalam hatinya pada potret mereka.

"Apa nggak ada sapaan berarti setelah tiga bulan kita nggak ketemu?" Adrian berjalan mendekat.

Lagi-lagi Irish terlihat menelan ludah. Adrian bisa melihat sorot kesedihan yang mendominasi di tatapan Irish, tapi ia tak ingin peduli.

"Kamu ... apa kabar?"

Adrian bisa menangkap dengan jelas getaran di suara Irish. "Apa menurutmu aku akan baik-baik aja setelah terima kabar bahwa seminggu lagi kamu akan menikah dengan pria yang lebih kaya daripada aku sekarang?"

Irish menunduk, membuat Adrian kembali mendekat.

"Apa kamu nggak pernah berpikir bahwa aku akan sangat kesakitan sekarang?" Adrian sengaja mencecar Irish. Cukup sudah ia menahan pedih karena wanita itu.

"Lihat aku, Rish," pinta Adrian sembari menyentuh dagu Irish, membuatnya mendongak.

Di hadapan Irish, Adrian tersenyum tipis. "Kamu bilang, kamu akan memperjuangkan kita di hadapan papa kamu yang mendadak membenciku karena kehilangan harta."

Irish memejam, tak kuasa menatap luka di kedua mata Adrian.

"Kamu bohong, Rish. Janjimu nggak pernah kamu tepati. Kamu malah berlari menjauh." Adrian menghela napas. Sesak yang kembali ia rasakan, kini merayap perlahan, membuat jantungnya berdenyut nyeri. "Kamu akan menikah," lirih Adrian. Mereka juga pernah membangun mimpi sejauh itu. Dulu.

Irish akhirnya membuka mata, membuat Adrian tersenyum tipis, penuh luka. "Kamu mencintainya?"

Irish terdiam.

Jemari Adrian beralih pada pipi Irish, mengelusnya dengan lembut, seperti yang sering ia lakukan. Dulu. "Kamu mencintainya, Rish?" ulang Adrian. Ada senyuman sedih di wajah Adrian saat memandangi jemarinya yang menyentuh kulit Irish.

Irish kembali memejam. "Maaf," lirihnya.

Masih dengan senyuman, Adrian menggeleng pelan. "Kamu cinta sama dia?"

Tidak ada jawaban. Adrian masih menunggu, sementara interaksi mereka dihiasi oleh suara lalu lalang kendaraan yang sesekali melintas.

"Rish?"

Adrian bisa melihat Irish yang menghela napas panjang sebelum membuka mata dan menjawab, "Sangat."

Kali ini Adrian yang memejam, menikmati sensasi pedih yang mengalir perlahan.

"Ian?"

Suara Irish membuat Adrian membuka mata.

"Kamu bakal baik-baik aja kan?"

Adrian terdiam. Sebelah tangannya masih menyentuh pipi Irish yang dingin.

"Aku mohon, kamu harus cari penggantiku. Yang bisa hidup dengan apa adanya kamu." Irish menunduk. "Maaf, aku ninggalin kamu karena nggak sanggup membayangkan hidup sederhana sementara aku terbiasa dilimpahi kemewahan."

Adrian menarik tangannya menjauh. Ia mendengus sinis sembari menggeleng pelan. Irish-nya sudah berubah. Atau bahkan selama ini ia sudah dibutakan oleh cinta, sehingga ia tak bisa melihat bagaimana Irish-nya yang asli. Entahlah, Adrian tak lagi mau berpikir keras mengenai Irish.

Perlahan, Adrian meraih satu benda di dalam saku jaketnya.

Irish mendongak karena tak kunjung mendapat jawaban. "Kamu bakal baik-baik aja kan, Ian?"

Adrian tersenyum sinis, kemudian mengeluarkan potretnya dan Irish dari dalam saku, membuat Irish—lagi-lagi—terkejut. Sementara di sisi tangannya yang lain, Adrian mengeluarkan korek api dari saku jaket. Irish mengernyit.

"You wish me well, Rish?"

Irish mengangguk ragu meski tatapannya terpaku pada kedua benda yang ada di hadapannya.

Adrian memantik koreknya perlahan, mendekatkan pada potret mereka berdua. "I wish you hell."

Kenangan terakhir mereka, kini ikut menjadi abu.

*****

ps. thanks to: Tablo ft. Taeyang (Eyes, Nose, Lips)




PhotographWhere stories live. Discover now