Indah mendongak menatap Ali yang tiba-tiba tergagap, "Lo tahu 'kan Kenids bukan anak gue tapi anak Shila. Selama itu gue gak tahu ayah Kenids siapa... dan ternyata... maaf ya Ndah, ayah Kenids itu Dino."

Indah terpaku ditempatnya, seketika lututnya lemas untuk menopang tubuh. Ada rasa kesal, benci, dan juga sedih yang meluap begitu saja. Sakit rasanya, sesal kenapa harus mau menerima tawaran Dino dan harus mengiklaskan sesuatu yang paling berharga.

"Jadi... Dino pergi sama dia? Dan Bella itu saudara satu ayah sama Kenids. Hahah... lucu ya Li." Tawa hambar penuh rasa sakit itu semakin menohok hati Ali. Ali, laki-laki itu paling tidak suka melihat wanita menangis.

"Dino brengsek! Bangsat!!" Lagi-lagi amarah meluap begitu saja.

"Lo teriak sampai pita suara lo rusak pun gak akan balikin keperawanan gue, gak bakal bisa balikin Bella lagi, 'kan?

Lo tau Dino kemana? Sekalipun dia gak nerima Bella sebagai anaknya, paling enggak dia tau kalau ada anak lain dari benih dia,"

Itu yang selalu Ali suka dari Indah. Selalu sabar dan merelakan, namun sayangnya seorang Indah ini teledor.

Ali menggeleng lemah, "nggak tau, gue cuma diminta anterin dia ke bandara aja."

Indah hanya tersenyum tulus, "gue bakal tunggu dia. Suatu hari nanti gue yakin dia pasti balik, 'kan?"

Ali menangguk pasti.

[×][×][×]

"Daddy... makaannn..." rengek Kenids yang meringkuk di sofa putih dikamarnya dan Ali.

"Ya makan lah," jawab Ali sambil masih fokus pada laptopnya.

"Makan apa? Oma udah pulang," jawabnya lagi penuh rengekan.

"Makan temen biar gaul,"

"Hah?"

"Hehe gapapa, bentar ya. Eh gimana kalau kita makan malam keluar aja?" Usul Ali. Kenids mengangguk pasti, sudah lama ia tidak makan bukan?

"Ajak uncle Liand juga gimana?" Tawar Kenids. Ali nampak berpikir sejenak lalu menangguk pasti.

"Sama mommy juga ya,"

"Mommy?"

"Mommy Prilly, jagoan. Ayo! Siap-siap."

Ali menutup laptopnya lalu beringsut ke kamar mandi. Sedang Kenids, ia masih terdiam dengan ucapan daddynya tadi. Mommy. Mommy Prilly. Mommy Prilly. Kenids tertawa hambar sejenak, menyadari kalau memang Prilly punya tahta yang tinggi dari seorang Ali. Menyadari kalau sebelum ada dia, Prilly sudah lebih dahulu berkuasa. Tak ada hal lain, hanya ingin menyingkirkan tahta Prilly itu, itu saja.

"Dadd!!!" Pekik Kenids saat menyadari kalau Ali sudah lebih dahulu masuk ke kamar mandi. ***

Siap-siap sayang, aku jemput kita makan malam.

Pesan itu bukan sebagai permintaan tapi keharusan. Di sebrang sana, Prilly menghela nafasnya gusar. Ada no. tidak dikenal memintanya makan malam.
Prilly hanya diam tak ingin ambil pusing, ia memilih untuk meneruskan menonton tukang bubur naik haji di televisinya. -- walaupun sekarang pikirannya kacau --.

Pakaian santai Ali dan Kenids terpantul di cermin besar milik Ali. Dua orang laki-laki tampan ini bergaya bagai model papan atas yang sedang naik daun. Ya, akui jika mereka memang benar-benar keren.

"Siap?" Tanya Ali dengan nada semangatnya. Kenids mengangkat satu sudut bibirnya saja keatas, tak ingin bicara hanya dengan perlakuan.

Ali menarik nafasnya lembut seraya berjongkok bersejajar dengan Kenids, "kenapa?"

Kenids mengangkat bahunya acuh lalu beranjak dari hadapan Ali dan langsung menuju mobil Ali.

Dering telpone disaku Ali menghentikan langkahnya.
"Ya? Oh-- ya.. yaudah gapapa, lain kali lah..."

"..."

"Santai, kapan-kapan lah kita."

"..."

"Oke. Bye,"

Liand membatalkan janjinya tadi. Katanya ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan malam ini juga. Ali memaklumi, toh acara ini bukan acara yang formal banget juga, 'kan?
Balik lagi dengan anak tadi, Kenids. Entah kenapa Ali merasa kalau setiap kali ia bicara soal Prilly kenids jadi berubah. Ya-- mungkin hanya perasaan saja atau memang... entahlah.

Ali tak ingin ambil pusing, sesegaranya ia berjalan menuju mobilnya. Disana, sudah ada Kenids yang menunggu dan duduk di jok depan.

"Kenids di jok belakang ya, sayang," ujar Ali lembut. Ali memposisikan dirinya di jendela depan tepat disamping Kenids.

"Loh? Kenapa?" Tanya Kenids keheranan.

"Biar mommy yang di depan," jawab Ali lagi dengan lembutnya.

Kenids mendengus kesal, ia benci harus dinomerduakan hanya karena Prilly. Prilly-- sosok wanita yang belum Kenids kenal saja dudah ia benci. Ia benci dengan kata 'mommy'.

"Harus?"

"Untuk menghargai orang yang lebih dewasa," jawab Ali sambil tersenyum lembut. Ia mengusap pelan rambut Kenids sayang.

Kenids menghela nafasnya sejenak. Berlalu melompatkan dirinya ke jok belakang. Moodnya kini benar-benar buruk.***

Ketukan pintu di luar membuat Prilly terhenti mengunyah cemilannya. Pikirannya melayang pada sosok laki-laki yang tadi mengirim sms dengan embel-embel kata sayang. Rasa takut mulai menjalar di perasaannya. Bagaimana pun, rasa takut itu ada karena Prilly hanya tinggal sendiri di rumah.

"Prill,"

Prilly menyatukan alisnya. Suara itu seperti suara Ali. Mungkin itu Ali? Ah tidak mungkin, lalu siapa yang mengirimnya sms kemarin? Mustahil.

"Sayang... hey," Prilly diam terpaku. Itu suara Ali. Tapi dengan lekas ia menyingkirkan pikirannya. Mungkin orang yang menyamarkan suara, bisa 'kan?

Dreeet.... ponsel Prilly bergetar. No tidak dikenal yang tadi mengirimkan sms menelpone nya. Mungkin kah Ali?
Cepat-cepat Prilly menangkatnya. Tugasnya sekarang hanya mendengarkan suara orang itu, bukan ikut berbicara.

"Sayang... bukain aku dong,"

Ali.

"Hey... sayang..."

Iya bener ini Ali, pikir Prilly meyakinkan.

"Al--li?" Jawab Prilly ragu.

"Iya? Eh bukain aku..."

Prilly langsung berdiri dan membuka pintu rumahnya. Dadanya berdegup kencang, entah kenapa ada feeling tidak nyaman pada dirinya sendiri.

"Sayang, kenapa?" Tanya Ali seraya mematikan telponenya. Wajah Prilly yang sedikit memucat membuat Ali heran. Prilly... jarang seperti ini.

"Kamu punya no. Telpone lain?" Ali mencondongkan tubuhnya seolah kurang jelas dengan pertanyaan Prilly. Alisnya menyatu heran.

"Jawab..."

"Enggak lah, nomer telpone aku 'kan cuma satu..."

Lalu siapa dia?

"Tunggu, tunggu, kamu kenapa sih? Kok tegang gitu? Ini lagi kenapa belum siap-siap?" Ali mengusap lembut rambut Prilly, menyesipkan anakan rambut Prilly ke belakang telinganya.

Prilly mendongak. Menatap Ali penuh dengan ketakutan, ia takut ini. Takut dengan orang itu.

"Aku... takut..."

Karena menggantung itu hobby.

A/N: chapter jembatan doang whaha.

Martapura, 24 Juni 2016
Pavita Avissa

Call Me MommyWhere stories live. Discover now