Anna

11.3K 407 12
                                    


Pintu terbuka lebar, deritnya yang berat dan menyeret, menusuk tajam ke dalam telingaku. Menggusur mimpiku dan membuatku terbangun. Dari sudut tembok di depan kepalaku, bayangan lampu jatuh, membentuk figur seseorang. Orang yang kukenal baik.

Untuk sesaat rasa putus asa membumbung di benakku, aku bahkan merasa tak ingin bangun dan lebih memilih berubah tak ubahnya onggokan batu, ditelan dinding tua berwarna abu-abu kecoklatan tak beda jauh dengan tanah kotor di musim hujan.

"Aku tahu kau tidak tidur Anna, jadi bangunlah!" dari ekor mataku aku mengintip sejenak. Suara wanita itu begitu kentara, jelas. Tapi bayangannya nampak samar. Aku bangun perlahan, duduk sejenak di atas ranjang tua berbalut selimut yang putih. Ah, tidak, coklat. Dulu ia putih, tapi usang menjadi coklat. Aku menunduk pelan, menatap kedua tanganku yang mengepal. Mengepal menyimpan kesedihan. Aku tahu, malam ini dia seolah datang untuk menentukan nasibku.

"Ada apa nyonya?" kataku sebatas penghormatan, meski sejujurnya aku tak antusis sama sekali pada perempuan nyinyir di sampingku. Perempuan dari kelas bawah tapi selalu mencoba untuk terlihat seperti wanita kelas atas. Memakai gaun sutera, perhiasan perak dengan gincu merah di bibir tebalnya. Tiap ia bicara tak ubahnya seperti gemuruh guntur. Tak pernah menyenangkan.

"Kurasa kautidak perlu berpura-pura tidak tahu maksudku. Aku sudah mendengar insiden kemarin. Bagaimana bisa kau keluar saat keluarga Willson datang. Kau tahu kau itu seperti aib" bebernya tajam, tanpa iba sama sekali. Aku mengangkat wajahku. Memandangi sosok perempuan gemuk yang berjalan mondar mandir dengan sepatu kayunya yang meletup-letupkan bunyi tajam di atas lantai ubin yang retak tak beraturan, bak kerikil.

"Aku merasa itu bukan kesalahan sama sekali. Aku juga memiliki hak yang sama dengan anak lainnya di St. Peter" langkah kakinya sontak meletup tegas seperti menghentak tanah. Kipas bulu ditangannya mulai ia mainkan dengan resah, seperti sedang memegangi cambuk dengan tanpa perasaan.

"Apakah aku harus mengingatkanmu lagi? Kondisimu? Seberapa menyedihkannya kau?" ia semakin sinis. Membuatku kehilangan selera sama sekali mendengarkan ocehan dari mulut lebarnya. Aku mengintip ke atas langit dari celah jendela di sampingku. Guguran salju nampak sangat cerah, berbanding tak sama dengan langit yang gelap. Suasana diluar pasti sangat dingin, meski belum ada badai. Nyonya Hudson terus mengoceh, entah apa yang dibicarakannya. Dia sangat menggangu.

"Apa kau dengar?" bentaknya seketika. Membuatku berbalik ke arah mata nyalangnya.

"Kau sangat menyedihkan. Pergilah!" kataku begitu saja. Entah sudah berapa lama aku memendam kata-kata itu dalam benakku dan sekarang aku meluncurkannya, seperi panah meluncur bebas pada mangsanya. Dia terkejut, sekaligus diliputi emosi. Apa yang akan dilakukannya sekarang?. Komentar nakal benakku yang sedang berontak.

"Kau diusir dari St. Petter!" bentaknya dengan keras, hingga tembok kusam yang retak itu menelan kemarahannya, kemudian melemparkannya berulang kali, padaku.

"Aku mengerti. Jadi pergilah. Suaramu itu sangat mengganggu, bahkan suara burung hantu di tengah hutan Chrimpson jauh lebih baik" kataku

"Kau...!!!" katanya makin tak sabar. Badan gemuknya berjalan ke dekat pintu. Ia membuka laci tua berwarna coklat di sebelahnya dan mengeluarkn semua isinya. Satu demi satu pakaian itu dilemparkannya padaku.

"Pergilah malam ini juga! Gadis cacat tidak tahu malu," bentaknya menyalurkan semua kemarahannya dalam cacian tajam.

"Jika kau tidak pergi malam ini juga, akulah yang akan melemparmu ke jalan,"

Setelah mengeluarkan semua pakaian itu, ia berbalik ke arahku. Dengan raut wajah penuh penghakiman. Bibir tebalnya membuka sedikit kemudian menutup dengan kesal.

Contract With the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang