Gaza beranjak dari tempatnya, berhenti pada darah yang bercecer di dinding kemudian mengelapnya dengan lengan jaket yang ia gunakan. Dindingnya tetap kotor, lalu ia usap-usap lagi lebih kasar, tapi tetap tak menghasilkan apapun karena bekasnya semakin berantakan.

Aku menggelengkan kepalaku, menarik lengannya hingga mata kami beradu. "Itu kepala berdarah Za," Ucapku sarkatis, ia menaikkan alisnya disusul kepalanya yang ia miringkan.

"Lalu?"

"Lalu nggak diobatin?" Kesal, aku menghempaskan tangannya. Kemudian meninggalkannya untuk mengambil kotak P3K yang tersedia di perpustakaan. Ketika sengaja aku melewati seluruh rak dan berhenti pada lemari kecil, tersadar jika ternyata ruangan ini memang tidak ada lagi manusia selain kami, ditambah pintu keluar telah tertutup dengan rapat. Bahkan penjaga perpustakaan tak lagi menampakkan batang hidungnya. Oh tidak!

Glek, glek glek

Suara itu kini terdengar lebih mengerikan dari darah Gaza ketika tanganku memutar kenop pintu, terkunci. Sebuah kenyataan telah menamparku pada kesadaran penuh jika waktu sesore ini perpustakaan akan terkunci otomatis. Kulirik lagi jarum jam yang sudah mengarah ke angka 16:35, sudah jelas bahwa tidak akan ada petugas perpustakaan di jam-jam menjelang malam. Seharusnya penjaga perpustakaan memeriksa terlebih dahulu sebelum benar-benar meninggalkan tugasnya. Akibatnya begini, dua orang terkunci tanpa ada yang tahu. Masalahnya korban tidak beruntung itu adalah aku sendiri.

"Gaza! Pintunya kekunci," Aku kembali menghampiri Gaza dengan kotak P3K yang kubawa. Lelaki itu masih sibuk dengan dinding di depannya yang sudah lumayan samar dari darah, namun basah. Sepertinya ia menyiram dengan sesuatu.

"Sini, obatin dulu. Masalah pintu biar aku nanti yang urus," Gaza mendekat kemudian membelakangiku. Lagi-lagi ia begitu tenang seperti bisa membuka pintunya dengan kata 'alohmora'. Begitu menenangkan hingga mampu membuatku mengangguk lemah.

Aku menariknya hingga terduduk di kursi terdekat, membuka rambutnya yang lepek akibat darah yang belum banyak mengering. Seperti luka hantaman benda tajam. Tak ingin mengulur waktu lebih lama, kubersihkan darahnya dengan alkohol, menyiramnya dengan obat merah, kemudian ku tutup dengan perban. Cukup menyakitkan jika kulihat, tapi Gaza hanya diam mematung. Aku juga bukan anak kesehatan, tapi cukup mengerti dengan hal semacam ini.

"Selesai," kataku cepat.

Kurapikan lagi benda-benda yang bercecer di atas meja, kemudian beranjak mengembalikan pada tempatnya. Semilir angin menyelinap masuk melalui celah jendela dan gorden. Menyapu kulit wajahku dan menimbulkan rasa dingin yang menjalar hingga ujung kaki. Sementara teringat kembali pada pintu dengan kenop pintu berwarna emas. Berbalik, aku hendak menagih janji Gaza untuk mengurus pintu. Apapun caranya, asalkan tidak terkurung bersamanya dalam ruangan ini.

Arah pandanganku membuat langkahku melambat. Lelaki itu menyandarkan kepalanya pada meja kayu di sebelahnya. Apa Gaza tidur? Jika saja benar maka aku berjanji tak akan mempermasalahkanya.

Kuguncang tubuhnya sekali, tak ada respon. Selanjutnya berkali-kali ditambah panggilan yang kuujar, tetap tak ada respon. Sepertinya kepalanya membuatnya tak sadarkan diri. Pingsan? Satu detik,...dua detik,...tiga detik,...what must I do? Aku panik. Jika Gaza pingsan berarti lukanya cukup parah. Jika lukanya cukup parah berarti ia harus dibawa ke rumah sakit, dan untuk melarikannya maka kami harus keluar dari ruangan ini. Pintunya terkunci, itu yang jadi masalahnya.

Mencoba berfikir sejenak meski otaku buntu. Kugigit bibir bawahku cukup keras hingga menimbulkan rasa asin di sana. Kujambak kecil rambut depanku, kemudian berjongkok, mengintip jendela, berteriak sesekali, menendang pintu, kursi, kembali ke samping Gaza, memeriksanya. Akh! Apa yang kulakukan? Terkurung di ruangan gelap bersama orang yang tidak sadarkan diri adalah ide paling buruk.

Mata Angin (UTARA)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz