Love Monkey ~1

Começar do início
                                    

"Ah..yang bener? emang sejak kapan kamu suka aku?" katanya dengan suara dihalus-haluskan dimirip-miripkan suara imut perempuan, yang menurutku kedengarannya lebih rombeng dari suara kaleng butut diikat tali dan ditarik oleh seekor kucing pasar.

Kulihat sekeliling teman-temanku menahan tawa sambil tertunduk dan memegangi mulut atau perut mereka. Mukaku terasa panas. Dan kalau aku lihat mukaku dicermin, mungkin mukaku akan mengalahkan warna merah terasi. Sumpah, ini kejadian paling memalukan yang pernah aku alami. Dan terdengar suara rombeng itu lagi.

"Aku tuh sebenernya suka kamu dari pertama liat kamu di kebon ubi waktu nyari jangkrik..."..

Hah..aku terperangah. Dan kini suara tawa tertahan itu meledak. Suasana menjadi riuh-gemuruh. Kurang ajar betul, dengan sengaja dia merubah isi pesanku yang sangat gombal-romantis menjadi kata-kata yang memalukan. Mukaku semakin panas. Diam-diam aku berdo'a kurang ajar semoga atap kelas roboh dan menimpanya. Tapi ternyata Tuhan tidak mengabulkan do'a jelek itu. Sumpah, kalau aku bisa berubah jadi cacing, aku akan masuk ke lubang.

"Masa sih? kamu pasti yang waktu itu pakai celana kedodoran, ingus meler, yang rupawan itu kan?"

Semakin kurang ajar saja. Jelas-jelas Pak Unsur memang harus segera memeriksakan matanya pada spesialis di Amerika sana. Ini sangat jauh melenceng dari konteks. Semua murid terpingkal-pingkal mendengarnya, bahkan si Didit yang duduk di sampingku sampai meneteskan air mata terharu sambil tangannya memukul-mukul meja saking gelinya. Yang lain bahkan ada yang minta izin ke toilet karena gak kuat pengen kencing. Tapi rasakan olehmu hai kawan durjana, Pak Unsur tak memberikan izin, dan cer...kencing di celana. Semakin riuhlah suasana kelas.

Aku yang sedari kecil memang diajarkan untuk berjuang mati-matian mempertahankan harga diriku, berdiri dan dengan lantang berkata dengan tegas walau malu setengah mati

"Pak.." kataku ragu.

Suasana menjadi hening seketika. Semua memandang ke arahku dengan roman ngeri. Tentu saja, mereka pasti berpikir aku cari mati dengan berkata seperti itu. Aku memang terkesan menantang Pak Unsur. Tapi aku tak rela harga diriku yang tak terlalu mahal ini diinjak-injak. Pak Unsur menatap dengan tajam ke arahku. Pikiranku berkecamuk, antara mempertahankan harga diri dengan melanjutkan pertempuran atau bertekuk lutut memohon kekonyolan ini dihentikan.

"Apa?" pertanyaan simpel tapi ngena.

Aku gelagapan mencari jawaban. Kucoba dengan rumus phitagoras, tak mungkin, rumus aljabar, pasti ngawur. Hemm..

"Ehm... anu Pak.." kataku gelagapan. Ternyata nyaliku menciut. Sialan.

"Anunya kamu kenapa?" kata beliau. Masih pantaskah ku sebut beliau .

Kutengok kiri kanan masih ada yang cekikikan, sebagian lagi menunduk khidmat. Sebagian lagi sumringah, mungkin menantikan pertempuran sengit antara Rama dan Rahwana yang buruk rupa ini.

"Kamu ini, bukannya belajar malah asik-asikan SMS-an, mau jadi apa kamu?" omelan standar. Aku mulai menunduk.

"Yang parahnya lagi, sayang-sayangan sama anak laki-laki."

Deg. Nah loh, kok?

Aku terperanjat. Semua siswa pun terperangah.

"Bapak tahu sekolah ini tuh gersang, cuma ada 20 anak perempuan, tapi...," menggantung. "bapak nggak menyangka anak se-alim kamu itu...jeruk makan jeruk."

Deg.

Aku merasa seperti kejatuhan durian, benar-benar durian yang mateng nimpuk kepalaku. Wah, aku harus segera meluruskan kesalahpahaman ini. Aku melihat sekeliling, semua temanku memandangku risih, bahkan jijik.

Love MonkeyOnde as histórias ganham vida. Descobre agora