-Dua-

8.5K 772 182
                                    

Gemercik air yang berjatuhan dari langit terdengar mencolok dari luar jendela. Angin yang berhembus akhirnya ikut terpengaruh, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Aroma tanah basah menguar, menghipnotis siapa saja yang memang menyukai hujan.

Cuaca yang kurang bersahabat membuat siapa saja malas untuk keluar rumah. Mereka lebih baik menghabiskan waktu untuk mencari kehangatan di tengah udara dengan suhu serendah ini. Terlebih hari ini adalah hari libur nasional. Hari yang dinanti dan disukai oleh hampir semua orang. Hari dimana kita bisa sejenak lari dari segala aktivitas sehari-hari.

Gadis dengan rambut sepunggung itu mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang malas beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengelilingi dirinya dengan selimut tebal sambil fokus membaca sebuah novel. Ditemani segelas coklat hangat kesukaannya telah tersedia di nakas sebelahnya.

Tiba-tiba keluar butiran air dari kedua pelupuk matanya. Padahal pandangannya belum beralih. Sesekali dia menutup novelnya, memejamkan mata dan kemudian mulai membaca lagi. Bisa dipastikan dia begitu terhanyut dengan cerita dalam novel itu.

Tok..tok..tok..

Suara ketukan yang berasal dari pintu kamarnya itu seketika membuatnya kehilangan fokus sementara. Dia menghela nafas. Sedikit merasa terganggu karena dunia imajinasinya seketika menghilang dalam sekejap. Sejurus kemudian dia langsung mengusap sisa air matanya yang kemungkinan masih terlihat.

"Mama? Masuk aja, Mam. Pintunya nggak dikunci, kok," ujarnya seperti telah memperkirakan dengan tepat siapa yang ada di balik pintu. Dia langsung beralih lagi mencari kata terakhir yang dibacanya di halaman itu.

"Diraaa!!!" seruan ceria dengan suara perempuan seketika menyeruak. Matanya berbinar bahagia. Dira, yang merasa terpanggil namanya langsung menoleh. Seseorang yang tidak sesuai dugaannya itu langsung berhambur memeluknya.

"Nindya ... kapan lo dateng? Tumben deh...." Dira cukup terkejut dengan kehadiran perempuan yang sudah lama tidak dilihatnya itu.

"Kangen nggak lo sama gue?" ujar Nindya dengan senyum lebarnya.

Dira ikut tertawa. "Ih, harusnya gue yang nanya gitu. Gimana kuliah lo di Bandung?"

"Ya masih gitu-gitu aja, deh. Belum berubah, tugasnya selalu numpuk," keluh gadis berambut pendek itu sambil terkekeh santai.

"Pantesan jarang main kesini. Lo dateng sama siapa?"

"Sendirian, gue dapet libur buat dua hari kedepan, makanya tadi pagi gue langsung jalan ke sini. Barusan gue nyampe, gue kira lo nggak ada di rumah. Taunya lagi bersemedi di sini," jelas Nindya sambil menarik selimut yang dipakai Dira.

Dira menggeliat malas. "Gue lagi males gerak, nih. Beneran deh...," katanya jujur sambil masih mempertahankan posisinya senyaman mungkin. "Eh, tapi emangnya lo nggak balik ke rumah?"

Nindya akhirnya menyerah dan ikut duduk di pinggir ranjang. "Gue ke sini dulu sekalian mau nganterin undangan. Abis itu pasti balik, lah. Gue udah kangen banget sama nyokap."

Mata Dira seketika membulat. "Undangan? Lo mau nikah, Nin? Lo kan masih kuliah. Ya ampun, gue nggak nyangka secepat ini, ya...," ujar Dira heboh dengan kesimpulannya sendiri dan langsung membuat Nindya menggeleng heran.

"Siapa yang bilang undangan nikahan, sih? Lo ada-ada aja, deh. Anak SMA jaman sekarang pikirannya nikah mulu," gerutu Nindya yang membuat Dira berubah ekspresi.

"Ya, kan pemikiran gue rasional. Nih, kalo lo yang nikah mungkin aja, Nin. Soalnya kalo gue kan masih SMA jadi masih jauh, ya kan?" Dira masih berusaha untuk tidak terlihat salah, karna bisa saja ini jadi senjata Nindya untuk mempertanyakan pemikirannya lebih lanjut.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang