Epilog

566 4 0
                                    

***

Seperti biasa, gadis dengan nametag, Ashilla Zahrantiara di dada kanannya. Dengan antusias menyorotkan handycame ke arah laki-laki yang saat ini sedang duduk di hadapannya. Ia tersenyum, tersenyum lebar. Melihat beberapa kali laki-laki itu menghindar dari sorotannya.

"Hentikan Shilla! Kenapa kau hobi sekali menyorotku?" protes laki-laki itu sembari mengocek-ngocek jus jeruknya.

Shilla tertawa pelan. Gabriel steven, teman baiknya yang membuat ia tidak mau melepaskan camera hitam polosnya itu untuk mengambil gambar wajah tampan laki-laki itu. Baginya gambar dan gaya-gaya iyel dalam cameranya itu selalu tampak lucu dan keren dalam segi manapun. Dan ia mengagumi laki-laki itu.

"Alvin, Via lama banget ya?" Shilla mulai menyerah dan segera mematikan handycamenya. Ia meraih es crime cokelatnya yang sedari tadi diacuhkan.

Iyel celingukan mengamati keadaan café Alvz yang menjadi latarnya saat ini. Sudah hampir setengah jam ia duduk berdua bersama Shilla di café itu. Menunggu Alvin dan Sivia yang merupakan teman baiknya untuk mendiskusikan sesuatu.

"Sory telat nih!" Via duduk di samping Shilla. Diikuti oleh Alvin yang memilih duduk di samping Iyel. Berhadapan dengan Shilla.

"Lama banget sih kalian. Molor waktu berapa jam coba?" protes Iyel pura-pura kesal.

Alvin hanya nyengir mendengar protesan Iyel. "Itu tuh Via! Laptopnya ngadat, jadi kita terpaksa mampir dulu ke warnet buat copas bahannya." Jelas Alvin sambil mengambil alih camera yang sudah kembali Shilla operasikan.

Shilla cemberut. "Ish, kebiasaan deh.." gerutunya sebal.

Alvin tertawa sembari mengarahkan camera itu kepada Shilla. Shilla cuek aja sambil membaca tumpukan kertas yang baru saja sivia berikan. Sivia memandang Alvin tidak suka. Ia selalu merasa tiba-tiba api neraka menghantamnya. Membuat hatinya terbakar. Cemburu!

"Jadi gimana nih Yel konsepnya??" tanya Alvin masih fokus pada pekerjaan gak jelasnya.

"Ya, tergantung bahan yang dibuat Via, Al.." jawab Iyel heran sendiri melihat Alvin nyorot-nyorot Shilla seperti itu. Mungkin ia merasa tidak suka dengan aksi itu.

Shilla memandang Alvin dan Iyel juga Sivia bergantian. "Vi, keren nih bahannya.." puji Shilla setelah memandang Iyel dan Alvin lagi.

Sivia tidak merespon ucapan Shilla. Mendelik melihat Alvin. "Yang ini konsepnya pasaran. Aku akan membuat yang lebih wah. Siapkan aja semuanya..." Sivia berdiri dari duduknya. Meninggalkan cafe setelah sebelumnya melirik ke arah Alvin yang masih sok sibuk dengan kameranya. Ralat! Camera Shilla.

Baik Iyel maupun Shilla menatap Via yang sudah menghilang dengan bingung.

***

Surya tenggelam menuju tempat peristirahatannya. Memaksa para penjaga malam untuk segera menjalankan tugas mereka. Menerangi kegelapan. Angin cukup bersahabat. Membelai-belai. Mengusap-ngusap dan bersilir-silir. Menyibakkan semua yang disentuhnya.

Dan dalam keindahan sang malam. Kenyamanan si atmosfer, tampak anak laki-laki berwajah oriental, menatapi dirinya di cermin kamarnya yang cukup besar. Tatapannya tertuju pada satu titik. Titik dimana ia merasa berada di ruang gelap. Lebih gelap dari malam yang pekat sekalipun. Bulir-bulir keringat dingin memaksa keluar dari pori tubuhnya. Ia mundur beberapa langkah. Takut menguasai dirinya.

"Let me kill you!"

Setidaknya tulisan itu tergambar jelas di balik cermin itu. Warna merah darah yang mencolok memberi nilai tambah untuk membuatnya merasa takut. Ia sandarkan tubuhnya di ujung kamar. Memeluk lututnya sembari terus menatapi cermin itu. Sebelum akhirnya...

Queen Of Sad Ending Where stories live. Discover now