Ketika Akhir Itu Menghapiri

Start from the beginning
                                    

"Alvin menolak tawaran anak-anak untuk menjadi calon ketua osis."

Sontak ia menghentikan bacaannya begitu melihat segelintir kakak-kakak kelasnya berjalan jauh di hadapannya. Belum pernah ia sepeka ini mendengarkan pembicaraan orang lain. Hanya nama Alvin-lah yang selalu membuatnya  repleks melepaskan segala aktivitasnya.

"Iyalah! Baru juga satu minggu yang lalu dia dapat jabatan kapten tim basket. Mana mau dia jadi ketua osis juga. Bayangin aja! Baru jadi kapten tim basket aja namanya sudah melanglangbuana. Apalagi ditambah dengan gelar ketua osis?"

"Baik, pinter, ramah, famous, kebanggaan para guru, kapten tim basket, tampan pula!"

"Mr. Perfect."

Perlahan obrolan anak-anak itu menghilang seiring jarak yang semakin jauh memisahkan. Ia menutup novelnya. Sedikit membayangkan wajah itu. Sesungguhnya ia selalu merasa bahagia saat mengingat nama Alvin.

"Vi! Lihat anak-anak basket latihan yuk!" seseorang menepuk pundak Via. Membuat ia kaget dan repleks berbalik, memastikan siapa orang yang mengagetkannya. Agni, temannya dengan cengirannya memandang Via.

"Hm.. Nggak ah! Kamu aja!" Via berdiri dari duduknya dan berlalu meninggalkan Agni.

Agni menarik nafas panjang melihat tingkah temannya yang satu itu. Ia heran kenapa Via bersikap acuh dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya selain buku dan pulpen.

Via berjalan sendiri di koridor sekolah. Suara derap kakinya begitu jelas menggema gendang telinganya. Karena rupanya sekolah yang sudah sepi membuat indera pendengarannya peka terhadap suara sekecil apapun.

Sebenarnya ia ingin melihat anak-anak basket latihan. Namun ada satu hal yang membuatnya selalu menolak ajakan temannya untuk itu. Ia hanya tidak ingin membiarkan hatinya terjun bebas untuk merasakan itu lebih dalam.

'Kenapa Via? Tidakkah engkau ingin melihatnya sebentar saja?' pikir Via masih terus berjalan dan tak memberikan kesempatan untuk kakinya balik kanan dan pergi ke lapangan basket.

Namun, belum sempat Via memikirkan itu baik-baik ia sudah melihat sesosok Alvin berdiri di hadapannya lengkap dengan kostum basketnya.

Via melangkah ke samping kiri. Tapi, entah kenapa Alvin merasa ada sesuatu yang menariknya ke samping kanan, seolah-olah tak memberi jalan untuk Via. Ia segera melangkahkan kakinya ke samping kiri. Naumun bukan melangkah maju, Via malah mengikuti langkah Alvin. Membuat mereka tampak seperti kedua kutub magnet yang saling berlawanan.

"Maaf," ujar Alvin akhirnya, berdiri di hadapan Via.

Via ikut diam. Dengan sangat rinci ia menatap wajah Alvin yang masih belum melepaskan senyumannya. Tiba-tiba saja ia merasa nada-nada mayor beraksi dalam dadanya. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat.

"Gak ke lapangan basket?" tanya Alvin lebih ramah.

Via menggeleng dan kembali berjalan tanpa mempedulikan Alvin yang masih heran melihat gadis antisosial yang membuatnya selalu merasa berada di ruangan yang penuh dengan udara-udara keingintahuan. Dengan sedikit senyuman, Alvin segera berlari menuju lapangan basket.

Setelah memastikan Alvin sudah tidak terlihat lagi. Via duduk di beranda kelas, meletakan tangannya di dadanya yang masih belum menemukan nada minor. Ia tersenyum menyadari satu hal yang tiba-tiba bergejolak dalam hatinya.

***

"Hh..hh..hh.."

Alvin berusaha mengatur nafasnya yang timbul tenggelam satu persatu. Ia sandarkan tubuhnya di tiang ring. Menyaksikan satu persatu para penonton yang didominasi kaum hawa itu meninggalkan area lapangan. Ia tahu latihannya kali ini sungguh berantakan. Berkali-kali ia melakukan kesalahan dan ditegur oleh pelatih.

Queen Of Sad Ending Where stories live. Discover now