Tak Perlu Ada Akhir

Start from the beginning
                                    

"Aku juga punya sesuatu." kata Sivia membuka lembaran-lembaran buku cerpennya.

"Heii! Gimana ceritanya kau bisa mendapatkannya?" tanya Alvin begitu melihat sebuah foto idolanya, Christian Ronaldo kini ada di genggaman Sivia.

Sivia tersenyum "haha.. Ada deh! Ini tanda tangannya asli lho.." Sivia menyerahkan foto itu kepada Alvin."Aku punya dua lho! Satu lagi untukku" sambungnya menunjukan yang satunya lagi.

"Bukankah kamu tidak menyukai sepak bola?"

"Aku memang tidak menyukai sepak bola, tapi aku menyukai orang yang menyukainya." ujar Sivia mengamati pemain bola berseragam merah cerah itu. Tampak keren dan menawan. "Hmm.. Aku akan menempelkannya disini." Sivia mencari lem dalam tasnya

"Ide bagus. Sini aku tempel!" Alvin mengambil alih foto itu dan menempelkannya di halaman pertama buku yang ia berikan dengan perekat yang baru saja Sivia keluarkan.

Senyuman merekah di bibir keduanya begitu melihat foto di buku itu. Dengan cepat Sivia menutup buku itu dan meraihnya. Mendekapnya di dadanya. Alvin menatap Sivia senang. Ia merasa tubuhnya begitu hangat melihat Sivia dengan erat memeluk buku itu. Seolah tubuhnyalah yang Sivia peluk erat.

***

Rasa sayanglah yang menuntun pena itu meninggalkan jejak-jejak huruf demi huruf yang pada akhirnya menjelma sebaris kalimat indah dan memikat.
Kedua jarum itu sama-sama berhenti di angka sepuluh. Menandakan malam terasa diam dalam dekapan waktu.
Di lembaran itulah kata itu tertoreh. Lembaran berwarna cream-muda dengan hiasan warna merah yang membentuk kata. Mata gadis itu bergerak-gerak pelan membaca untaian kata itu.

"100 lembar semoga cukup untuk kau abadikan cerita sepanjang hidup yang seharusnya terjadi atau bahkan tak seharusnya terjadi.

Di awal kusampul keabadian ini dengan biru. Sebiru kebahagiaanku akan hadirmu..
Di akhir kusampul cerita ini dengan hitam, sehitam tebalnya keyakinan bahwa semua ini tak perlu berakhir."

12 Mei 2011

Suara sepatu yang beradu dengan lantai lapangan futsal indoor SMA-4 Bandung kini menjadi nada yang tak beraturan yang menembus gendang telinganya. Tidak begitu mengasyikan. Dan sudah dua jam ini ia berada di tengah-tengah ketidaknyamanan ini. Menjadi penonton setia anak-anak futsal yang tetap sibuk memperebutkan satu bola.

Ia mengeluarkan buku pemberian Alvin dari dalam tasnya. Hanya sedikit mengurangi rasa jenuhnya. Buku itu tetap bersih, bukan tak tersentuh, melainkan tak ada kata yang bisa melukiskan betapa bahagianya ia dengan kehadiran buku itu. Karena baginya buku adalah teman. Dan temannya kali ini sungguh tidak bisa ia isi dengan sembarang kata.

"Haahh.. Aku mati kata untuk mengisimu!" desahnya menatap serius barisan-barisan kosong itu.

"Apa..hh penulis..hh..bisa.. Kehabisan kata juga..?" Alvin berdiri di hadapan Sivia sambil mengatur nafas. Tangan kanannya memegang dada kirinya kuat, terlihat begitu lelah.

Sivia menutup bukunya. Meraih botol minum di sampingnya dan segera memberikan air itu kepada Alvin "Kenapa?" tanyanya cemas melihat nafas Alvin tersenggal-senggal hebat.

Alvin tertawa kecil "Hh.. Sesek!" jawabnya sambil duduk di samping Sivia dan meneguk setengah air dalam botol itu.

"Terlalu lama sih latihannya.. Jadi sesek deh Al.." kata Sivia mengamati Alvin dengan seksama atau lebih cenderung khawatir.

Alvin tidak merespon ucapan Sivia. Mencoba menurunkan kembali irama detakan jantungnya ke nada normal. Cukup sesak karena latihannya memang terlalu lama. Belum lagi sedikit rasa sakit di bagian dadanya karena tak henti berlari.

Queen Of Sad Ending Where stories live. Discover now