LEON

1.8K 133 40
                                    


"Lima ratus ribu, sebulan." Ibu-ibu berdaster merah yang berdiri di depan pintu rumahnya itu berbicara angkuh. "Bayar di muka!"

Ada yang lebih menderita dari pada sendiri dan gak punya duit?

Pemuda berkaos biru dongker itu berusaha mati-matian menutupi wajah melasnya, bahkan dari dirinya sendiri. Ia berusaha kuat dalam situasi apapun, semenderita apapun, juga berusaha melupakan bahwa ia hanya anak SMA—yang semestinya lagi ongkang-ongkang kaki di meja belajar sambil makan kentang goreng sama saos sisa kemaren.

Gue pikir kalo nyerah sama hidup tinggal ngibarin bendera putih sambil tiduran, terus beres sudah. Tapi ternyata hidup menawarkan hal yang lebih menarik dan sialan, dan anehnya gue bahagia-bahagia aja—atau pura-pura.

Ia melemparkan tubuhnya ke kasur busa-tipis yang malam ini menjadi alas tidurnya. Ini masih lebih beruntung dibanding kost-kostan samping kandang kambing punya bang Haji Nasin, kemarin. Ya, wajar sih, tiga ratus ribu.

Sudah tiga kali ia pindah kostan sebulan ini. Untungnya yang dua di awal tidak menarik uang muka. Jadi lumayan, tidur gratis seminggu. Dia berharap kali ini yang terakhir.

Kostan dua petak dengan kamar mandi di dalam yang berada di lantai dua paling pojok ini adalah pilihan terakhir Leon setelah seharian bolos sekolah cuma buat nyari kostan. Kelihatannya dia cukup bahagia karena kostannya ada jendela dan letaknya dipaling pojok bangunan.

Karena Leon butuh jendela, mendung dan embun...

Tapi bukan Hujan.



********************************************************

I'm not sure if I'm despressed.

I mean I'm not sad,

but I'm not exactly happy.

"Biar gue tebak, pasti kontrakan lo kali ini deket kandang ayam."

"Hahahaha—tai!"

Orang-orang pada demen banget bercanda yah, tapi mereka gak pake mikir gimana kalo candaan mereka berbanding lurus sama hidupnya. Ketawa-ketawa-ketawa. Bahagia-bahagia-bahagia.

Leon menenteng sweater hitamnya sambil berjalan di koridor sekolah. Hari ini ia sengaja membawa baju berat itu karena pagi tadi mendung dan dia jalan kaki ke sekolah karena bensin mobilnya habis. Gitu-gitu, Leon masih semangat sekolah dan dia tidak pernah berpikir akan berhenti sekolah hanya karena masalahnya. Toh mamahnya sudah melunasi iuran sekolah sampai tahun depan dan kalau ada biaya tambahan semester gurunya hanya tinggal menghubungi mamahnya dan semuanya selesai. Aslinya, mamahnya sangat peduli pada Leon.

Dan Leon lebih suka menyebutnya tante-tante bahagia.

BRUKK!

Leon kaget, tapi dia hanya memicing kemudian berbalik jalan kembali.

"Anjrit! Siapa sih tuh orang, abis mabok kali yah!" seorang cewek manis berambut lurus sepinggang itu mengomel seraya merapikan buku-bukunya yang berjatuhan karena tabrakan tadi. "Udah nabrak bukannya nolongin atau minimal minta maaf, kek, malah nyelonong aja. Dasar gak punya etika!" tambahnya jengkel.

"Stttsss.. udahlah!" temannya membantunya merapikan buku-buku yang berserakan di lantai.

"Lah kok lo gitu sih?!"

"Ya terus apa dong? Lo mau nyamperin dia, ngejambak rambutnya terus kalian main jambak-jambakan gitu?" temannya malah jadi ikutan jengkel, tapi akhirnya mereka melanjutkan jalannya kembali setelah cewek manis itu menatap sekali lagi punggung lebar cowok berambut acak-acakan si pelaku insiden tadi.

"Anak kelas mana sih tuh?"

"Lo gak tau dia?" temannya kebingungan. Dia mengernyit.

"Aduh sok famous deh, siapa emang?"

"Leon, Karr!"

"Leon mana?"

"Temen sekelas kita, oon!"

Dan kala itu si cewek manis berambut panjang itu malah merasa paling tolol karena tidak mengenal siapa cowok yang barusan menabraknya tadi. Masalahnya dia adalah ketua kelas-yang baru dipilih kemarin. Seharusnya dia Update siapa saja anggota kelasnya.

"Ah~ baru tiga hari sekelas, kan?" 



*******************************************

"Gue rasa tindakan kita ini bukan suatu hal yang terpuji, tapi demi sesuap nasi dipagi hari, bolehlah.." cowok berambut acak-acakan yang memiliki senyum manis diwajah blasterannya itu mengipas-ngipas uang duapuluh ribuan di depan mukanya.

"Kayak gini bener-bener jatohin harga diri gue.." partnernya yang penuh gengsi itu menyandarkan bahunya pada tembok kotor belakang sekolah. Mereka biasa di sini setiap istirahat dan pelajaran kosong. Ajaibnya persembunyian mereka belum diketahui oleh banyak murid, kecuali yang sering kena palak.

"Lo ngertilah, ada yang aneh sama otak gue ini.." Leon memukul pelan kepalanya. "Jadi kadang gue gak bisa mikir logis, apalagi kalo laper. Tenang aja, entar juga duitnya gue balikin.." hahahahaha bener juga si sialan satu ini, jatoh deh harga diri gue.

"Gimana besok? Jadi?" tanya partnernya serius. Sedetik kemudian mereka saling tatap. Leon tersenyum.

"Tapi abis pelajaran bu Mariska selesai, ya?" jawabnya santai. Matanya kembali menatap ujung langit yang bertemu dengan bukit di belakang sekolah. Mata bernuansa sendu dan baik hati, tapi sekaligus mata yang begitu gelap, dalam dan tajam. 

"Le, sory kalo lo tersinggung..."

"Yap?"

"Dia sekarang ada dimana?" tiba-tiba berganti topik. Partnernya bertanya tanpa memandang wajah Leon. ke duanya sama-sama memandang ke arah yang sama. Entah kenapa alam selalu berkonspirasi memberikan nuansa super mellow ketika pembahasan sudah mengarah ke sana. Angin berhembus dengan kencang, meriakkan dedaunan pohon-pohon yang berdiri kokoh memagari belakang sekolah mereka. 

"Mana gue tau dia kabur kemana!" kata Leon dengan gaya selengeannya. tapi kemudian dia memiringkan wajahnya-menatap kearah partnernya. "Eh..maksudnya dia yang mana nih? Banyak soalnya yang kabur dari hidup gue."

Lagi-lagi angin berhembus di depan mereka. Sepertinya hujan akan turun lagi. Ke duanya kembali terdiam, kali ini begitu lama dan Leon sepertinya tidak butuh penjelasan partnernya barusan karena sejujurnya dia tau siapa orang yang dimaksud.

Pembicaraan yang sebenarnya engga-penting-penting-amat ini seharusnya di skip saja dari list galau mereka. Toh sama-sama tidak membutuhkan jawaban. Hanya basa basi dari pada saling diam.


"Eh pecundang kecil.. ambilin minuman gue di sana!" seorang pria paruh baya bertubuh kurus menunjuk ke arah lemari dapur. Sementara anak yang di suruhnya tadi buru-buru melangkahkan kaki kecilnya ke arah yang di tuju dan segera mengambil satu botol bir. Padahal anak tersebut sedang mengerjakan tugas menggambarnya yg akan dikumpulkan dua jam lagi.

"Ini pah.."

Pria tadi bangun dari tidurannya. Wajahnya langsung merah padam ketika melihat botol bir yang dibawa anak kecil tadi. "Bukan yang ini-tolol! Gak becus kalo disuru orangtua.." Pria itu menempeleng kepala anak tadi dengan botol bir barusan sampai tubuh kecilnya mundur beberapa langkah. "Minggir-minggir!" sampai akhirnya pria tadi mengambil sendiri botol bir yang ia maksudkan. 

Leon mengusap kepalanya, lalu ia kembali meneruskan tugas gambarnya sambil sesekali melihat jam. Sekarang sudah pukul 06.30. Dia harus cepat-cepat menyelesaikan tugasnya. Kalau tidak akan di hukum lagi.

Anak kecil itu. Leon. Mata kirinya tak henti mengeluarkan air mata. Bukan karena dia sedih, tapi karena kemarin matanya terbentur meja dan sekarang memar. Rasa sakit sudah menjadi sahabatnya, sampai-sampai ia tidak tahu seperti apa sakit itu.




I Will be HereWhere stories live. Discover now