"Mama ikut?" tanya Livie yang membuatku bingung harus menjawab apa. Aku tidak mendengar suara Demi sejak tadi. Aku tidak yakin dia mau ikut bersama dengan kami nanti. "Ikut kan, Pa?"

"Insya Allah ikut, Sayang," jawabku meskipun dalam hati aku tidak yakin Demi mau ikut serta.

"Pa, besok jemput agak siangan aja," kata Devan tiba-tiba. "Paginya aku mau ke sekolah dulu ada latihan untuk lomba cerdas cermat."

"Oh, ya udah. Habis makan siang?"

"Iya!"

"Oke." Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya. Meskipun aku sudah tahu jawaban apa yang akan aku terima. "Dev, Mama ada?"

Devan bergumam sebelum menjawab "Di kamar, Pa. Masih tidur." Aku menghela napas pelan. Aku memang harus berusaha lebih ekstra lagi. Hingga dia bisa memaafkanku.


***


Suara dentingan kaca yang ke sekian kalinya membuatku tersadar sepenuhnya dari tidurku. Aku tidak memiliki pembantu di sini, jadi siapa yang berada di dapur? Aku menajamkan pendengaranku dan kembali mendengar suara berisik dari luar. Apa iya ada maling? Di pagi hari begini?

Aku turun dari tempat tidur dan perlahan berjalan mendekati pintu, masih mencoba mendengar suara dari luar kamar. Aku bisa mendengar suara orang tapi tidak jelas. Akhirnya, aku pun jadi was-was sendiri. Dari yang kudengar sepertinya lebih dari satu orang. Mungkin sebaiknya aku tetap di kamar dan menelepon polisi. Memang aku lelaki bertubuh besar tapi kalau melawan banyak orang sudah pasti tidak akan bisa.

Tapi karena rasa penasaranku besar, akhirnya aku memutuskan untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Aku membuka knop pintu perlahan dan mengintip keluar.

"SURPRISE!!!" teriakan yang membuatku hampir terkena serangan jantung.

"Papa kaget ya?" tanya Dee yang kemudian bergelayut di kakiku. Aku yang masih begitu terkejut hingga jantungku berdebar kencang, akhirnya memilih bersandar pada dinding daripada jatuh ke lantai karena kedua kakiku yang mendadak terasa lemah. "Pa?"

"Nah loh, jangan-jangan Papa kena serangan jantung!" kata Rion yang melihat wajah pucatku.

"Ngomong apa sih kamu?" kata Devan menegur adiknya yang hanya menyengir lebar.

"Kalian itu, Papa sudah tidak muda lagi. Jangan dikagetin begitu!" kataku saat akhirnya bisa bernapas lagi. "Untung saja Papa tidak kena serangan jantung," ucapku menghela napas lega.

"Pa!" panggil Dee kesekian kalinya sambil mengulurkan tangannya minta di gendong.

"Maaf ya Pa," kata Livie terlihat menyesal saat aku mengangkat tubuh Dee dan menggendongnya, yang langsung dihadiahi ciuman panjang di pipi oleh anak bungsuku yang menggemaskan. "Kami cuma mau kasih kejutan, bukan mau buat Papa sakit."

"Tidak apa-apa. Kemarilah, Papa mau mencium kalian satu per satu," ucapku yang langsung membuat mereka menyerbuku dan menciumku terlebih dahulu sebelum aku sempat mengecup pipi mereka. "Sejak kapan kalian di sini?" tanyaku setelah mereka selesai menyerbuku.

"Sejam yang lalu. Tadinya mau bangunin Papa langsung, tapi kata Kak Dev nanti aja," jawab Rion saat kami berjalan keluar kamar menuju ruang keluarga.

Semakin mendekati ruang keluarga, semakin jelas tercium bau sedap masakan dari dapur yang membuat perutku keroncongan mendadak. Padahal selama ini aku jarang merasa kelaparan. Tapi bau sedap ini membuatku lapar begitu saja.

"Siapa yang masak? Kalian ajak Mbak Asih?" tanyaku sambil berjalan ke dapur.

"Mbak Asih?" tanya Dee bingung.

[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang