Part 9

7.6K 671 2
                                    

"Bisakah aku istirahat sebentar Ken?"

Ya, aku sudah melakukan kegiatan rutinku selama dua minggu ini. Gym dan diet teratur. Ken adalah partner sekaligus pengontrol kesehatanku. Hampir setiap aku pulang sekolah dia selalu menemaniku berolahraga dan bercerita. Dia orang yang sangat baik dan humoris. Usia Ken hanya terpaut satu tahun di bawah Sean. Sean? Aku melupakan pria itu. Sudah dua minggu ini ia pergi untuk menyelesaikan tugas politiknya di Singapura. Tiga kali sehari, Sean akan selalu menghubungiku melalui skype ataupun telepon. Dia selalu melakukan kegiatan rutin itu selama ia pergi. Jujur, aku memang merindukannya dan dia selalu berkata dia juga merindukanku, tapi aku memaklumi pekerjaannya.

"Baiklah, setidaknya kau sudah mendapatkan 35 menit di alat ini,"

Aku mengangguk dan meraih botol minuman berisi infused water ku. Ken menyarankan aku untuk memperbanyak minum air putih dan infused water. Ia memberitahuku jika air itu bisa membantu pembakaran lemak secara cepat. Dan benar saja, dalam dua minggu lebih aku sudah bisa menurukan 8kg dari bobot 70kg ku. Awalnya aku memang setengah hati untuk mengikuti diet ketat ini. Tapi Ken selalu menyemangatiku untuk melakukan ini, dia bilang kesehatanku akan lebih baik jika aku melakukannya.

"Ken, bolehkah aku bertanya padamu?" dia yang sedang sibuk dengan alat gym nya menghentikan kegiatannya dan mengelap keringatnya dengan handuk kecil sambil mengangguk ke arahku.

"Sejak kapan kau berteman dengan manusia es itu?" Ken tertawa seakan tahu orang yang ku maksud.

Dia Sean. Siapa lagi?

"Kau ini sangat lucu, pantas saja Sean begitu melindungimu. Okay, aku sudah berteman dengan nya sejak aku duduk di bangku kuliah. Dia adalah seniorku dan partner bisnis ku. Kira-kira aku sudah berteman dengannya sekitar 8 tahun yang lalu," jelas Ken.

Aku tersenyum tipis menanggapinya. Kepalaku menunduk dan jari-jariku kembali memainkan permukaan handuk kecil berwarna merah yang ku pegang.

"Aku tidak mengerti mengapa Sean begitu tergila-gila padamu. Kau tahu? Dia adalah playboy kelas kakap yang benar-benar mematikan. Tapi, kau tidak pernah mudah terbuai dengan pesonanya huh?"

Aku terdiam dan mengangkat wajahku hingga mataku kini bertemu mata biru milik Ken. Dia berdiri lalu mendekat ke arahku dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya. Aku menyunggikan senyumku tipis, bahkan aku ragu Ken dapat melihat senyumku, "sepertinya kau salah jika kau mengatakan aku tidak terbuai oleh pesonannya. Semua wanita akan terbuai hanya dengan menatapnya saja Ken, aku pun begitu. Tapi aku berbeda, aku tidak mempercayai lagi pria semacam itu. Pria yang hanya melihat sisi fisik seorang wanita," jelasku sedikit panjang dan membuat Ken semakin tertarik mendengar lebih.

"Sean selalu menceritakan kalau dirimu begitu susah untuk terbuka dan di dekati. Dia sampai frustasi mencari segala cara untuk membuatmu luluh. Jane, sebenarnya kau kenapa? Kau bisa menceritakannya padaku. Anggap saja aku ini kakakmu."

Aku tersenyum mendengar ucapan Ken. Dia begitu baik padaku, tapi aku tidak pernah menyalah artikan kebaikannya. Dia pernah berkata padaku jika ia ingin memiliki seorang adik perempuan, dan dia menganggapku seperti adik perempuannya sendiri.

"Kakak? Okay, Ka Kennedy. Jadi sekarang aku boleh memanggilmu dengan panggilan itu?" Ken mengangguk dan tersenyum, satu tangannya mengacak rambutku dengan gemas membuatku kesal dan menyingkirkan tangannya.

"Lepaskan tanganmu dari dia Ken," suara ini, suara pria yang kurindukan.

Sean kembali, dengan wajah kusut dan pakaian kerja yang belum ia lepas. Wajahnya seperti biasa, memandang tidak suka ke arah Ken jika aku bersamanya. Oh ralat, bersama pria manapun terkecuali keluargaku. Langkah cepat dia mendekatiku lalu mencium bibirku dengan penuh kerinduan. Bibirnya melumat dan melahap bibirku seolah-olah tidak ada waktu yang ingin terbuang. Lidahnya menelusup ke dalam mulutku dan mengabsen deretan gigiku. Aku membalasnya, dan tanpa sadar sebuah suara menghentikan kami.

"Well, Mr. Ice back. Kau ini lama sekali mengurusi persoalan politkmu. Apa kau sengaja memberi waktu dua minggu ku ini bersama gadis kecil kesayanganku?" Ken memang senang sekali menggoda Sean. Aku hanya tertawa kecil dengan godaan yang di lontarkan Ken pada Sean. Sebenarnya aku juga malu dengan kelakuan kami tadi.

"Berhentilah berbicara padaku. Tugasmu sudah selesai hari ini, kau tahu pintu keluar Mr. Bennet?" Ken hanya tertawa mendengar balasan Sean yang begitu kesal. Dia mengambil botol minumnya dan segera pergi dari tempat gym milik Sean.

"Apa?" mataku tertuju pada mata Sean yang tenang. Dia menjawab, "aku merindukanmu, sangat bahkan aku sampai tidak bisa fokus dengan meetingku kemarin. Tidakkah kau merindukanku?"

Aku merindukanmu, tapi kali ini aku ingin bermain-main dulu denganmu Mr.Smith.

"Sean, berhenti berbicara konyol, seharusnya kau kembali ke kamarmu, istirahatlah," aku meraih handuk kecil merah tadi dan beranjak pergi.

"Mulai perhatian eh?"

Satu kesenangannya saat ini. Menggodaku.

"Jangan menggodaku Sean. Aku lelah dan aku harus mengerjakan beberapa tugas sebentar lalu aku akan pergi jalan-jalan bersama murid-murid sekolahku juga murid-murid sekolahmu."

Dia menarik tanganku hingga aku berbalik dan ia mendekap tubuhku dengan tubuh besarnya. Jantungku berpacu cepat membuatku malu karena dadaku sudah melekat di perutnya. Wajahku memerah begitu malu saat Sean tersenyum menggoda. Satu tangannya berada di pinggulku, satu tangan yang lain menangkup wajah cubby ku. Matanya tenang dan lagi-lagi menghipnotisku tanpa permisi. Bibirnya yang menggoda tergerak membentuk senyuman yang tampan. Guratan-guratan kelelahan tampak di wajahnya.

"Jantungmu berdetak sangat kencang baby."

Sial! Jantung sialan! Kenapa kau tidak bisa bekerja sama denganku?

"Sean, kumohon lepaskan aku. Tubuhku lengket dengan keringat," aku memberontak dan tanpa sadar tubuh bagian bawahku menggesek tubuh bagian bawahnya.

Terasa menggebung dan keras. Apa itu? Apakah miliknya bangun hanya karena gesekanku? Sial! Aku berada dalam bahaya.

"Baby, kau sangat nakal. Kau membangunkan milikku dengan gerakanmu itu. Diamlah, aku tahu prinsipmu, no sex before married," senyumnya masih mengembang. Cepat-cepat aku membalas, "okay, okay, lepaskan aku sekarang, aku akan terlambat jika kau tidak segera melepaskannya," aku tidak berusaha untuk kembali menggodanya. Dia menaikkan satu alisnya dan menjawab, "beri aku satu ciuman, aku begitu merindukannya, terakhir kita berpisah kau membuatku emosi."

Panggilannya membuatku geli. Ya tuhan, aku terjebak dalam percintaan pria tua ini. Bisakah aku melarikan diri? Dia begitu kuat dan aku begitu bodoh.

"Sean, kumohon," dia menatapku tajam. Okay baiklah aku mengalah. Aku memberikan satu ciuman di pipinya dan ia tersenyum.

"Yang ku maksud ciuman di bibirku," lagi-lagi ia menggodaku. Aku mendelik tajam padanya dan berniat menendang selangkangannya, namun suara lain menghentikan niat burukku, "oh, maaf menganggu Mr and Mrs Smith. Aku hanya ingin mengambil ponselku yang tertinggal."

Kepala Ken muncul dari balik pintu dengan wajah humorisnya. Sean memandangnya kesal dengan mata tajamnya. Aku tidak bisa memberontak, Sean membuatku seperti paku yang tertancap dan tidak bisa bergerak lagi. Melihat pelukan Sean yang begitu posesif padaku, Ken tersenyum penuh arti padaku.

"Kak Ken tolong aku," mata Sean menajam ke arahku seakan terkejut mendengar panggilanku untuk Ken.

"Baby, jangan memanggil pria lain dengan panggilan seolah-olah kau sudah sangat akrab," protesnya dengan nada memohon.

Sangat posesif.

Bagaimana bisa pria tua ini cemburu dengan sahabatnya sendiri hanya karena aku memanggil sahabatnya dengan sebutan 'Kakak'?

"Dasar kau Sean, tidak kah kau lihat? Jane begitu risih dalam dekapanmu," goda Ken yang langsung dibalas Sean dengan geraman keras, "diamlah Ken, kau selalu saja datang dan mengacaukan kita berdua."

Ken tertawa sangat puas setelah menggoda Sean dan membuat Sean emosi. Dia mengerlingkan matanya jahil padaku dan dibalas tatapan tidak suka dari Sean. Dan Sean mencium bibirku secara langsung.

"Wow, Mr.Smith kau begitu agresif ya?"

Oh tidak betapa malunya diriku saat ini. Aku ingin sekali melepaskan ciuman ini tapi Sean tidak tinggal diam. Dia mencengkram kepalaku seolah-olah aku tidak boleh memandang Ken.

Sial!

[...]

Jane [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang