Bag 9; Kacamata Berframe Merah

5K 245 15
                                    

[[Lebih dari 20 hari gak update, maafkan daku jika kelanjutannya agak fail. Hiks hiks *lap ingus*]]

***
"Dalam kasusmu itu, cinta tidak pernah datang terlambat Ra. Hanya saja kau tidak buru-buru menyadarinya. Kau terlalu sibuk menyangkal, menyangkal, dan terus menyangkal. Hingga tidak pernah kau sadari bahwa dengan menyangkal justru membuat perasaan itu semakin tak tertahankan. Meluap sekenanya. Tak bisa kau bendung." ujar Reifa dari balik gagang telepon. Aku tersenyum kecut, dalam beberapa hal Reifa memang pandai membaca suasana; mengerti keadaan hatiku.

Udara panas merebak masuk, menyembul melalui sela-sela jendela yang kubiarkan terbuka 1/10 bagian. Musim semi hampir berlalu.

"Lagian, mengapa kau seceroboh itu hingga dengan bodohnya membiarkan hatimu kembali dicuri oleh Andri?"

Aku terdiam, menggigit bibir. Aku juga tidak tahu mengapa menyukai Andri --lagi.

***

Semua berlalu begitu saja. Amat cepat. Aku bahkan tidak menyadari, atau lebih tepatnya terlambat menyadari bahwa Andri yang sekarang masih sama dengan Andri masa SMA dahulu --yang selalu diam-diam kusukai.

Semua berawal dari tiga bulan lalu, ketika aku dan dirinya sibuk membicarakan tentang 'perasaan seorang lelaki' di sepanjang perjalanan pulang hingga sampai di depan apartemen. Sejak saat itu, aku bercerita banyak padanya. Dia selalu menanggapi dengan gurauan-gurauan ringan yang tidak jarang membuatku terbahak keras. Ber-hiha-hihi gila hingga penjaga warung sebelah gedung apartemen  hafal gelagak kami. Aku bahkan sampai lupa bahwa kami adalah sepasang laki-laki dan perempuan bukan mahram yang semestinya harus saling menjauh dan berjalan pada koridor masing-masing. Aku sampai lupa, itu sungguh kesalahan yang amat besar.

Sore ini, ketika aku perlahan mulai menyadari perasaanku terhadapnya, ketika aku mulai menyadari bahwa tidak ada pertemanan yang murni antara laki-laki dan perempuan (di dalamnya pasti ada rasa terbesit), ketika aku menyadari betapa aku mencintai dua orang dalam satu waktu (Faisal dan dirinya), sejurus kemudian aku juga menyadari bahwa kedekatan yang selama ini kubangun dengan laki-laki berkacamata dengan frame merah bernama Andri itu adalah suatu kesalahan besar dan aku harus secepat mungkin mengakhiri itu. Atau, semuanya akan terlambat dan tidak lagi berarti.

"Jadi, apa yang harus kulakukan?" desisku parau, di balik sana masih senyap; Reifa juga mungkin tidak tahu apa yang harus kulakukan.
***

"Kau dua hari ini sedang terjangkit syndrome apa sih Ra? Setiap melihatku, kau selalu buru-buru menghindar seolah-olah aku ini memang patut dihindari, padahal kan....iya juga sih." Andri berlari-lari kecil menyesuaikan langkahnya dengan langkahku. Tapi sia-sia, semakin ia mengejarku, aku semakin melesat jauh. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih berjalan normal dua meter di belakangku. Aku memperlambat langkahku.

"Wanita itu selalu aneh. Menghindar tanpa alasan. Mendekat juga tanpa alasan. Semua yang mereka lakukan selalu tanpa alasan." ujar Andri --entah dengan ekspresi apa, aku tidak bisa melihatnya karena dia kini di belakangku.

Aku menelan ludah, andai kau tahu Ndri, semua yang kulakukan selalu berdasar pada alasan-alasan. Sekalipun alasan itu tidak pernah logis di analogikan oleh akal manapun.

"Setidaknya beri aku penjelasan. Kau tahu, laki-laki selalu membutuhkan penjelasan. Sekalipun penjelasan itu hanya omong kosong."

Sudah kubilang, penjelasan dariku tidak akan kau mengerti, Andri.

"Shafara..."

Aku menggigit bibir, menahan luapan perasaan-perasaan aneh.

Ketika aku tengah sibuk menunduk, tanpa kusadari laki-laki itu sudah berdiri gagah dua meter di hadapanku. Kacamata berframe merahnya berkilau ditempa kemuning senja, tatapan wajahnya garang meminta penjelasan. Aku bergumam nanar, seumur-umur aku tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini.

"Kupikir kita sudah selayaknya dua pasang sahabat yang saling membutuhkan satu sama lain, tapi ternyata aku keliru, aku tidak akan pernah jadi sahabat seorang wanita yang sejak SMA selalu mati-matian menghindari lelaki." ujar Andri pelan, nada suaranya bergetar, membuatku hampir menangis.

Andri menengadah, jakunnya naik-turun karena menelan ludah. Dari depan, potret itu nampak maskulin. Tapi, aku sungguh tidak berani memandangnya lama-lama. Selang sepuluh detik, aku segera berbalik dan melesat kencang.

Andri tidak mengejar, ia tahu aku perlu waktu untuk sendiri.

***
Next chapter 10, jangan lupa vote dan comment ya biar saya makin semangat ngelanjut cerita :'D ((maklum jomblo))

Ku Aminkan Kau Dalam AminkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang