5; Kampus Impian

4.6K 203 3
                                    


***
Seminggu belakangan aku sibuk mengorek-orek informasi tentang kampus di sekitar Indonesia maupun kampus di luar negeri yang sekiranya sesuai dengan IQ ku yang ya begitulah. Dan tahu semua ini untuk apa? Hanya demi agar tidak dijodohkan! Sebenarnya sih aku mau sekali menikah di usia muda, asal dengan pasangan yang memang aku pilih sendiri. Terkesan egois sih, tapi sungguh 'dijodohkan' adalah mimpi terburuk yang tidak pernah berani aku bayangkan selama 19 tahun hidup di dunia.
Saat aku tengah sibuk menggerakan kursor komputer, seseorang mengagetiku dengan suara 'dor' yang yaampun klise sekali. Reifa.
"Udah mblo, gausah stalk kalo gamau baper.." seru Reifa seraya menyikut bahuku dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, maksudku aku sampai merasa ngilu saking gesitnya dia bergerak.
"Ye, siapa yang lagi stalk. Orang lagi nyari kampus." sangkalku di sela waktu antara enter-loading-hasil.
Reifa yang terlanjur memvonisku sedang menstalk dalam sekejap langsung memperhatikan gerak-gerik kursor yang menari di layar komputer. Matanya menatapku, "Seriusan?"
Aku tidak ber-iya, tidak juga mengangguk.
"Ra, mau kuliah? Kok ngga bilang-bilang? Ih aku bukan sahabatmu lagi ya" teriak Reifa. Dalam jangka seminggu ini, aku memang sama sekali tidak memberi kabar pada nya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau mengganggu kesibukannya bersama dunia baru itu, maksudku sudah hampir dua semester dia menempuh pendidikan di universitas bergengsi yang dengan begitu membuat waktunya tidak pernah tersedia lagi untukku.
"Ini kan belum pasti, ngapain bilang-bilang dulu?"
Reifa menggeleng-gelengkan kepala sedang aku kembali menekuni layar komputer.
"Abi mau jodohkan aku dengan anak temannya kalo aku nggak mau kuliah. Jadi ya, aku terpaksa kuliah. Hei, kau tau kan? aku tidak pernah mau dijodohkan. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya. Ugh" gumamku seraya merutuki jaringan yang mendadak tidak stabil.
Reifa melirik, lantas kemudian terbahak dengan gaya tertawa yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Hei, pasti dia mengadopsi ini dari teman di kampusnya. Oh Ya Rabb, tidak lucu sekali gayanya saat ini.
"Dari awal aja niatnya udah salah. Kuliah itu buat nyari ilmu, persiapan diri karna kita para wanita adalah madrasah awal bagi calon anak kita kelak. Bukan buat menghindari acara perjodohan." ujar Reifa dengan bahu yang berguncang karena terlampau keras menahan tawa.
Aku menyeka ujung bibirku, menghapus sisa-sisa coklat panas yang kuminum dengan perasaan campur aduk barusan.
"Memangnya mau kuliah dimana, Ra?"
Aku sejenak berpikir. Membuat prediksi.
"Antara Jogja dan Jepang."
Reifa mendelik. Kali ini tertawanya semakin membahana. Aku mendengus sebal.
"Sejak kapan Jogja dan Jepang punya relasi. Ada-ada saja."
Reifa masih tertawa sedang aku tengah dirundung kegelisahan.
Baik di Jogja maupun di Jepang, kurasa akan tetap sama. Menyadari kabar buruk bahwa aku akan jauh dari keluarga di Jakarta sini. Tapi ada satu kabar baik pula yang sejak awal ku harapkan, aku tidak jadi dijodohkan. Ini menyenangkan sekali.
***
Aku berjalan ke arah dapur membawa mug kosong bekas coklat panas. Reifa sudah pamit sejak setengah jam lalu karena ada acara kampus. Ya begitulah, ketika sahabat pergi sesingkat itu hanya karena lebih memilih urusannya, kita bisa apa?
Aku tengah mengisi mug kosong dengan coklat panas yang baru tatkala Bang Ridwan, menghampiriku. Rupanya, dia mau membuat coklat panas juga.
"Gimana Ra, jadi ambil kuliah?" tanyanya sembari berjinjit kecil mengambil cangkir di rak paling atas.
Aku mengangguk, kemudian berbalik. Menjauh dari Bang Ridwan.
Ketika aku hendak meraih kenop pintu kamar, tiba-tiba Bang Ridwan berteriak keras.
"Di Jogja aja, kalo nggak di Jepang. Dulu Abang punya kampus impian di situ."
Aku menengok. Terbelalak. Bagaimana mungkin Bang Ridwan mengatakan 'Jogja dan Jepang'? Sial, jadi seleraku dan dia sama?
Atau memang ada relasi kuat antara Jogja dan Jepang yang hanya aku dan Reifa yang tidak tahu. Aku memerhatikan muka Bang Ridwan yang cengengesan. Mahasiswa semester akhir itu terlihat lebih ingusan dari anak-anak komplek. Aish.
Tapi, hei aku masih memikirkan tentang Jogja dan Jepang.
Sembari mendengus berat aku membuka pintu kamar, lantas tenggelam di dalamnya hingga Adzan menyeru.
Antara Jogja dan Jepang. Aku hampir gila.

Ku Aminkan Kau Dalam AminkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang