AIR*8

4.8K 702 127
                                    

Prilly mondar-mandir di depan pintu masuk restoran yang ramai orang berlalu-lalang. Hatinya ragu saat dia ingin naik ke lantai dua, di mana tempat itu sudah dipesan oleh Ali, sebagai tempat pesta perayaan wisudanya.

"Del." Prilly menoleh melihat Ali yang gagah dengan PDH putih lengkap dengan atribut penerbangannya.

Prilly sejenak terkagum dengan ketampanan Ali yang tak biasa itu. Senyum tersungging di bibir ranumnya.

"Kenapa nggak naik? Aku udah nunggu kamu sejak tadi." Ali menarik tangan Prilly untuk menaiki anak tangga.

"Maaf, aku tadi ke rumah Pak Kuncoro dulu."

"Ngapain? Kenapa nggak SMS aku?"

"Aku cuma mau minta tolong Pak Kuncoro buatin buku pelaut."

"Sudah jadi?"

"Belumlah, masih nunggu."

Sepanjang mereka menaiki tangga, Ali tak pernah melepaskan gandengan tangannya. Sampailah mereka di lantai atas, tempat teman-teman Ali berpesta, menikmati makanan yang disediakan oleh keluarga Ali dari restoran tersebut.

"Ali, enggo kam man è?" (Ali, sudah makan kamu?) tanya wanita paruh baya saat menghampiri Ali. Tangan Ali masih setia menggandeng tangan Prilly.

"Enggo, aku enggo man ndai, Ma." (Sudah, aku sudah makan tadi, Ma.) Ali menjawab pertanyaan wanita tadi.

Prilly melongo memperhatikan bahasa daerah yang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Prilly benar-benar tidak memahami bahasa itu.

"Ali, kamu asli mana sih?" tanya Prilly penasaran, karena selama mereka dekat, Ali tidak pernah bercerita asal-usulnya.

"Bingung ya sama bahasa aku dan Mama?"

Prilly mengangguk dengan mata masih memerhatikan wanita paruh baya yang tadi menanyai Ali, saat ini mamanya sibuk menyalami teman-temannya.

"Itu mama aku, itu papa aku, itu abang aku dan istrinya, yang itu kakak perempuanku." Ali menunjuk satu per satu orang yang dia sebut tadi. "Ayo!" Ali masih saja menggandeng tangan Prilly, mengajaknya mendekati mamanya.

Jantung Prilly berdetak kencang saat wanita paruh baya berwajah tegas yang dikenalkan Ali sebagai mamanya menatap dia dari atas hingga bawah. Raut wajahnya yang tak bersahabat membuat perasaan Prilly tidak nyaman.

"Ise gelarna, Ali?" (Siapa namanya, Ali?) tanya wanita tadi membuat Prilly bingung, dia tak mengerti apa yang dibicarakannya dengan Ali.

"Malta Prilly Delmora Rissa, Mama. Panggilna Delmora."

"Ija kena sitandan?" (Di mana kalian bertemu?)

"Ali dan Delmora sitandan di kos."

"Ja nari kutandu?" tanya Widya, mama Ali, kepada Prilly.

Prilly menoleh menatap Ali bingung, harus menjawab apa.

"Dari mana asal kamu?" Ali berbisik agar Prilly memahami arti bahasa yang sedang Widya gunakan itu.

"Saya dari kota Salatiga."

"Kamu dari suku Jawa?" tanya Widya dengan nada sedikit tinggi, yang langsung memperlihatkan raut wajah ketidaksukaannya.

"Iya, Tante. Saya orang Jawa." Selesai menjawab, Prilly lalu menoleh kepada Ali yang sedari tadi setia berdiri di sebelahnya tanpa sedikit pun melepaskan genggaman tangannya.

"Sekarang Mama tahu alasan Ali bertahan di Jawa dan akan tetap di sini."

Prilly tak mengerti apa yang dikatakan Ali tadi dengan mamanya. Ali semakin mengeratkan genggaman tangannya di sela jari Prilly dan pandangan Ali kepada Widya seolah mereka sedang berperang dingin. Widya membalikan badan, meninggalkan Ali dan Prilly.

AIR (Ketika dua air yang berbeda arti disatukan atas nama cinta) KOMPLITWhere stories live. Discover now