"Mulut Jaden itu bau! Kau tahu? Campuran Pizza dengan alkohol busuk sangatlah menjijikkan," balasku seraya bergidik. Mengingat mulut Jaden yang terbuka lebar dihadapanku disaat aku terbangun dari tidur sangatlah membuatku muak.

Tiba-tiba Justin terperanjat dari duduknya. Ia membulatkan matanya lantas menatapku dengan pandangan bodoh. "Kau pernah menciumnya?"

"Tentu saja tidak!" aku tersentak lantas memukul pundaknya, "Dasar sinting!"

"Babe, katakan padaku kenapa kau bisa mengetahuinya," Justin mendesah frustasi, lantas menggeleng tak percaya. Geez. "Kau membuatku syok."

Aku mendelik seraya membuang tatapan darinya. Lebih baik aku bungkam saja daripada mengatakan yang sejujurnya pada Justin. Apa aku harus menceritakan peristiwa menjijikkan itu? Dimana aku yang menginap di rumah Justin dan terbangun dari tidur karena bau dari mulut Jaden yang terbuka di hadapanku? Yang benar saja.

"Babe?"

Aku menghela napas. Kembali kutolehkan kepalaku ke arah Justin yang kini tengah menatapku. Iris mata karamelnya memandangku begitu intens, mengarah tepat ke mataku. Desiran angin lembut menerbangkan beberapa helai rambutnya. Tangannya yang merangkulku beralih menelusuri lenganku hingga berakhir di tanganku yang tergolek di atas pangkuan. Dia menggenggamnya. Oh, aku tak tahu mengapa tapi apa yang dia lakukan sekarang sejujurnya membuatku merasa sedikit lebih..tenang.

"Aku tidak mengerti, bagaimana bisa aku menjadi seperti ini." ujar Justin seraya menghela napasnya. Aku hanya bisa terdiam memerhatikannya. Ini tengah menjadi serius dan kurasa ia akan mengutarakan sesuatu. "Aku mengenalmu, menganggapmu gila karena semua kelakuan anehmu membuatmu muak. Lalu? Ketika aku berusaha menciummu, kau meninju wajahku. Itu benar-benar gila."

"Jangan membahas peristiwa gila itu lagi," gumamku cepat. Kejadian itu sudah lama berlalu. Entahlah, rasanya aku sangsi mengingat-ngingat awal pertemuanku dengan Justin yang penuh drama dan tentunya menjijikkan.

"Dengarkan aku dulu, Babe," tukasnya. "Setelah itu, semua berjalan begitu saja, mengalir dengan sendirinya. Entah bagaimana bisa perasaan ini timbul setiap melihat wajahmu yang menyebalkan itu, Babe."

Aku? Menyebalkan katanya? Cih, apa dia tidak sadar kalau dia lebih menyebalkan dariku!? Aku mendelik mendengar perkataannya yang konyol tanpa enggan membalasnya. Aku biarkan saja dia berceloteh, karena sesungguhnya, di balik wajahnya yang sok tampan dan sok cool itu, dia memiliki mulut yang cerewet. Asal kau tahu saja.

"Kau itu aneh, rakus, cerewet, dan menyebalkan. Sesungguhnya kau sama sekali bukan tipeku, Babe. Dan kau beruntung bisa mendapatkan pacar setampan dan sekeren aku. Banyak yang menginginkanku, kau tahu itu."

"Oh, aku tahu sekali," enggan berdebat soal siapa yang paling baik di antara kami, aku membalas dengan sindiran sarkastik. Lantas kembali mendelik padanya. "Jadi intinya?"

"Intinya, aku hanya ingin bilang bahwa.." Justin memalingkan wajahnya sejenak, lantas kembali menatapku. Iris matanya seakan menarikku untuk balas menatapnya. Menatap kedalaman matanya hingga kutemukan kebekuan di dalamnya. Beku yang sama seperti dulu, begitu tersembunyi. Tapi di balik kebekuan itu, Justin menyiratkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang, nyata. Yang membuatku terpaku menatap warna matanya yang sama sekali tidak istimewa. "Aku mencintaimu. Perlu kau tahu bahwa aku tidak pernah mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada orang lain, bahkan pada Jaden sekali pun. Dan percaya atau tidak, aku mencintaimu."

Hening, tak ada makian atau dengusan sebal keluar dari mulutku. Alih-alih aku terdiam memandangi genangan air yang memantulkan bayangan wajahku. Apa yang diucapkannya barusan bukan main-main. Dan rasanya lidahku kelu untuk membalas perkataannya itu. Kami berpacaran, aku tahu. Tapi, aku hanya berusaha menjalaninya, dan merasakan bagaimana rasanya dimiliki orang lain, diperhatikan, disayangi oleh orang lain selain ibuku, dan..diistimewakan. Selama Justin bersamaku beberapa minggu ini, aku merasakan kenyamanannya. Dan jujur saja, dia membuat hari-hariku menjadi lebih berwarna. Tapi soal cinta? A-aku belum yakin. Maksudku, aku masih sempat memikirkan orang lain disaat Justin tengah berada di sampingku.

SOMETIMES [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang