Our Destiny

11K 420 34
                                    

"Ibu kau tidak pernah makan di meja makan" pinta anakku Rick.

Dia tampan, memiliki lesung. Wajahnya seperti Herald waktu muda dengan mata biru yang bersinar.

"Ibu tidak lapar anakku. Ada beberapa pekerjaan yang ibu harus lakukan di perpustakaan bersama paman Rafael" ujarku.

"Ayolah bu satu kali saja" pinta Rick dengan manja. Yang mau tidak mau harus kuturuti.

"Baiklah. Ayo Raf" ajakku. Rafael yang membaca buku disofa kamarku segera bangkit tapi bukunya belum ditaruh.

"Tanpa paman Rafael" pinta Rick. Rafael hanya melirik lalu kembali duduk. Rick meminta tanganku dab menggandengku ke ruang makan istana.

Ini pertama kali setelah sekian lama aku tidak ikut makan bersama para bangsawan dan juga Herald. Mungkin juga ini adalah percakapan pertamaku dengannya setelah sekian lama.

Herald menatapku canggung. Para bangsawan memasang wajah tak percaya. Rick membukakan kursi untukku, disebelah kananku pangeran dan Rick duduk diseberang.

Tak ada percakapan diantara kami. Aku dan Herald hanya mendengar ocehan Rick. Wajah Herald hanya datar, dia tidak menggubris ocehan Rick.

"Ibu pikir ibu akan ke daratan asia" ujarku.

"Kenapa bu? Ibukan sudah tua" jawab Rick. Herald menghentikan aktifitas makannya.

"Belum.terlalu tua. Ibu baru 34 tahun. Ibu ingin belajar ilmu kesehatan tradisional" ujarku.

Herald meninggalkan meja makan. Dia tidak berkata apapun. Aku tahu dia tidak akan setuju. Tapi aku tidak peduli, aku memang selalu melanggar aturan aturan konyolnya.

Ketika aku kembali kekamar. Ada suara jeritan dan lolongan wanita tersakiti dari kamar Herald. Dan suara Herald yang menggelegar seolah sedang mencapai kepuasannya.

"Suara itu mengerikan" ujar Rafael dia menggeleng. Dia tidur dikasurku dengan menutup kepalanya dengan bantal.

Aku hanya tertawa. "Bagaimana kau bisa hidup dengan maniak seks sperti itu. Menghasilkan 5 anak. Pasti kau disakitinya" ujar Rafael bergidik.

"Tidak. Dia orang yang baik" ujarku.

Jantungku berdegup, hatiku terasah. Mengapa tiba tiba aku memujinya.

"Apanya yang baik. Dia itu raja yang kejam, tega dan psikopat" ujar Herald. "Dalam 18 tahunnya berkuasa, rakyat banyak mendapat kesusahan" ujar Herald. "Itulah mengapa aku kembali pulang."

Aku segera bangkit. Segera aku kekamar Herald. Kamar mendesah yang lebih tepatnya melong long. Aku mengetuk kamar yang terkunci itu.

Seseorang wanita berpayudara besar membukakan pintu. Segera aku menerobos masuk. Diatas ranjang ada Herald dan dua orang wanita lainnya. Dimana ada satu orang lagi di sofa yang sudah lemas dengan kedua kaki terbuka.

Aku terperajat katika melihat lukisan lukisan yang berada di kamar herald. Dipenuhi dengan gambarku, dari aku tersenyum, hamil, telanjang, makan, tertawa, menggendong Aurora, mengajari amanda dan avellyn berbicara, mencium Audrey, menggendong bayi Rick. Banyak hal yang dilukiskan dari tangan kreatif.

"Keluarlah" suruh Herald.

Aku menangis. Bagaimana aku bisa mengabaikan perasaan cinta ini? Mendahulukan Egoku? Selama sekian tahun mengikrarkan diri bahwa aku menderita. Padahal ada seseorang yang lebih menderita dari pada aku. Menderita karena cinta yang kubuat.

Ada sebuah lukisan ketika aku membaca dimana ada tulisannya. "Dia telah membenciku" aku makin terisak.

"Keluarlahhh" teriak Herald kasar.

Nevertheless (Complete)Where stories live. Discover now