Titah Raja

7.3K 367 0
                                    

Aku terbangun dipagi hari dalam pelukan Herald. Tubuh kami berpelukan tanpa menggunakan sehelai kainpun. Tubuh herald terasa hangat.

"Kau tidak tidur?" Tanyaku. Menjauhkan tubuh dari badannya.

Dia memelukku lagi. "Tetaplah seperti itu" ujar Herald. Aku mengangguk lalu kembali memeluk Herald. Dalam.pelukannya herald membelai rambutku. Beberapa kalia dia mengecup keningku.

Aku menyukai tubuhnya tanpa bau alkohol ataupun amis yang entahlah. Aku menyukai tubuh hangatnya yang seperti ini.

"Ayolah ini sudah sangat siang, matahari telah berada di tengah angkasa" ujarku.

"Tidak El, aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamamu" ujar Herald membuat hatiku berbunga bunga.

Aku mengangguk. Membiarkannya memperlakukanku dengan manis. "Aku mencintaimu yang diagungkan Ratu Elizabeth" bisik Herald.

"Akupun mencintaimu Yang Diagungkan Raja Eryon Herald" bisikku. Herald mengajakku berciuman, ciuman yang sangat halus namun bergairah.

Aku duduk dimeja makanku. Herald membukakan kursi untukku. Kami dipandang bahagia oleh bangsawan bangsawan yang hadir dalam makan siang. Selama makan siang Herald tak memalingkan pandangannya sekalipun dariku.

"Raja, aku malu jika dipandang terus seperti ini" ujarku menggerutu dengan senyuman yang selalu mengembang.

Herald tersenyum. Lalu menundukkan kepala untuk memakan makan siangnya lalu kembali menatapku dengan wajah yang menggoda.

Seorang prajurit membisiki Herald. Entah apa, Herald langsung bangkit dan meninggalkan makan siangnya.

Aku berjalan jalan di taman. Ketika melihat banyak orang yang berdiri didepan pagar istana. Tangan mereka menjulur di celah celah pagar.

Wajah mereka memelas dan mereka kotor. Para pengawal menahan orang orang yang masuk.

"Ratu aku lapar" ujar seorang anak kecil yang terhimpir. Yang diikuti orang orang dewasa disekitarnya.

Dikantongku ada roti. Aku segera mengambilnya. Dan menjulurkannya kepada anak itu. Belum sampai anak itu menggapainya.

"Ratu Elsa" teriak Herald. Dia duduk diatas kuda.

Aku menoleh dan tidak sengaja menjatuhkan roti itu. Aku segera berlari kearah Herald, lalu naik di belakangnay. Mengamati banyak massa diluar kerajaan.

"Ibuku belum juga ditemukan" ujarnya bersedih aku memeluk pinggangnya.

"Lumbung makan dijarah" lanjutnya Herald menberikan berita.

"Para prajurit banyak dikerahkan untuk mencari pemberontak dan penyandra ibuku. Istana sedang kacau, aku tidak ingin kau kenapa kenapa" ujar Herald. Kuda berjalan dengan santai, aku memeluk Herald dengan kencang.

Hari hari berlalu. Hari yang membahagiakan bagiku. Herald makin manis ketika kuberitahukan bahwa aku hamil, tabib istana yang menerka seiring membesarnya perutku.

Kini paduka tidak membawa lagi gundik ke istana. Meski beberapa kali dia berpamitan untuk ke tempat prostitusi. Diapun mengakui dia gila seks yang kasar, tapi dia tidak tega melakukan itu kepadaku.

Akhir akhir ini kuketahui dia sangat pintar melukis, dia selalu memintaku untuk menjadi objek lukisannya. Ketika dia berpikir dia terlihat dua kali lebih tampan. Mega drawing yang ia buat adalah baru baru ini saat aku hamil dia melukis di kanvas yang sangag besar dan ditaruh di Aula istana.

Siang itu aku sedang memilih gaun. Menggunakan gaun tanpa penyangga besi yang berat. Siang itu raja sedang tidak bisa diganggu, seharia penuh dia berada di singgasananya. Beberapa dayang mengulaskam bedak di wajahku. Aku terlihat benar benar cantik.

"Ikutlah bersamaku. Permaisuri telah ditemukan" ujar Herald tapi nadanya seperti bermuram durja. Dia memelukku dari belakang ketika aku sedang duduk didepan cermin hendak memasang kalung.

Herald menggandengku, dia mengenggam tanganku. Tapi tidak keruangan putri terdahulu. Wajahnya redup kali ini, tidak secerah biasanya.

"Hey ada apa?" Tanyaku memegang pipinya.

"Apa kau masih mencintaiku meskipun aku bukan raja?" Tanya Herald.

Aku mengangguk. "Yeah tentu saja" lalu mengecup bibirnya.

"Hidup dan mati?" Tanyanya lagi. Aku mengangguk yakin.

Kami naik kereta kencana dengan dipandu oleh banyak prajurit. Mereka berjalan menuruni bukit, mengusuri jalan yang sepi. Aku tidak tahu kemana kereta kuda ini berjalan.

Apakah Permaisuri mengajak untuk berwisata. Permaisuri memang sudah merencanakannua sejak lama. Tanganku masih digenggam oleh Herald.

Kami turun dari kereta kencana di depan kerumunan masa. Semua mata tertuju pada kami. Aku langsung dikawal oleh para prajurit untuk naik ke atas, entahlah itu seperti podium yang langsung bisa dilihat oleh orang banyak.

Herald menggandeng tanganku untuk naik ke podium yang tidak ada tangganya. Ketika aku diatas aku baru sadar,,,

Sejajar dengan panggung aku berdiri. Ada banyak orang dengan dengan tali laso di leher. Dengan kedua tangan yang diikat. Dan aku tahu siapa mereka.

Paman Govry

Mantan Menteri pertahanan negara yang tidak kuketahu namanya

Bibi Yovia

Pablo

Dadaku makin sesak. Aku ingin menangis. Lama aku melupakan mereka.

Permaisuri terdahulu

Stuart

Dadaku semakin sesak, air mata tak kuasa keluar.

"Elsaaaa" suara itu melengking penuh duka. Membuatku merasa sekarat. Suara Salah seorang dari barisan itu. Dan aku kenal.

Aku ingin langsung meloncat dari panggung. Ketika tangan Herald menarikku. Aku menghempas tangannya, dan turun ke massa.

Para prajurit menahan tubuhku.

"Ibu" teriakku.

"Bertooo" aku berteriak histeris.

"Elsa. Ibu dan bertk tidak bersalah" teriak ibu. Aku berjalan berusaha menerjang prajurit. Meronta memanggil nama ibu.

Jedaaaarrrr

Aku melihatnya. Wajah ibu yang penuh luka. Dikeningnya tertancap peluru yang membuatnya melotot menahan lara.

Ibu yang melahirkanku. Mendidikku. Memarahiku. Menyayangiku. Aku mengingat kenangan kenangna indah itu. Ketika menunggui ibu memasak, beliau tersenyum ketika aku kotor karena mengejar babi.

Aku ingat ketika beliau mengajariku menjahit dimana tanganku menuh luka dan ibu menghapus air mataku. Ibuku yang cantik dan menjadi idolaku. Pengganti ayah dan kebahagiaan terbesarku.

Kakiku terasa lemas. Aku jatuh seketika.

"Eksekusi" teriak Herald lantang.

"Aaaaaaaakkkhhh" ketika pemberat telah ditarik. Barisan itu terangkat dengan tali laso yang menjerat leher. Aku tak kuat melihat mereka, tak kuat melihat bibi Yovia, pablo,stuart, apalagi Berto. Mereka adalah bahagiaku, alasanku untuk bertahan dan hidup.

Nevertheless (Complete)Where stories live. Discover now