19 (Late)

12.4K 946 49
                                    

Perlu beberapa hari untuk meredam semua serangan media. Semua pihak dikerahkan dalam proses penekanan atas segala berita yang menimpaku. Apapun dilakukan. Pengalihan isu menjadi pilihan terakhir saat semua media semakin liar.

Barulah di hari kelima, aku dan Franzel bisa bernafas lega, setelah kemarin Franzel menggelar konfrensi tertutup atas semua berita ini. Dia hanya mengundang beberapa media yang paling perpengaruh di Amerika untuk meluruskan semua ini. Pada akhirnya Franzel harus mengakui bahwa kami memang benar-benar sudah menikah.

Dia membenarkan semua foto dan upacara pernikahan yang lakukan sembunyi-sembunyi. Franzel juga mengatakan permohonan maafnya karena telah membohongi publik. Dia mengatakan alasan penyembunyian status karena dia belum siap untuk mengenalkan diriku secara resmi ke publik.

Aku menghargai semua usahanya. Aku tahu bahwa dia benar-benar tertekan di luar sana. Dunia yang biasanya dikuasai, kini harus menjadi dunia yang membuatnya tak nyaman. Orang-orang akan selalu beranggapan buruk dengannya. Kudengar beberapa pemegang saham yang selama ini bekerja sama dengannya mulai mengundurkan diri. Reputasinya di dunia bisnis menurun, meski tidak drastis, tapi itu tentu membuatnya cukup kacau.

Kutarik nafas panjang sambil menutup majalah New York Times yang membuat berita terakhir tentang kehidupan pribadiku. Kusandarkan kepalaku di punggung sofa ruang tengah sambil memejam.

"Setidaknya satu masalah sudah selesai, kau sudah bisa menghirup udara di luar rumah mulai hari ini."

Suara Franzel yang baru datang, membuatku spontan membuka mata. Kulirik dia yang sedang melonggarkan dasinya. Wajahnya benar-benar kusut dan stressnya terlihat jelas.

"Ya, itu kabar bagus," ucapku dengan kedua bahu yang naik bersamaan.

"Kau bisa menyuruh Rick untuk mengantarmu berbelanja, atau apapun yang membuatmu merasa jauh lebih baik," balasnya sembari berjalan menuju tangga lantai tiga, tempat kamarnya berada.

Meski hubunganku dan Franzel sudah lebih tenang. Bukan berarti kita bisa bersatu lagi. Tidak. Tentu kami takkan tidur seranjang lagi. Itu hanya akan membuat segalanya semakin buruk, ah, ralat, sulit tepatnya.

"Kau sudah menulis suratnya?" tanyaku menghentikan langkahnya menuju tangga.

Dia menoleh dengan berat. Matanya menatapku lurus. "Aku sudah mengirimnya sejak kemarin. Minggu depan, mereka semua akan datang."

"Minggu depan?" Lebih mirip sebuah protes daripada kalimat tanya.

"Kupikir itu waktu yang cukup untuk meredam emosi antar masing-masing keluarga. Kau harus ingat, apa yang kutulis bukanlah surat kerinduan. Itu pengakuan." Franzel menarik nafas sejenak. "Aku hanya tak ingin pertemuan antar keluarga nanti menjadi peperangan. Lagi pula, banyak urusan yang harus kuselesaikan." Dia memberiku pengertian yang cukup masuk akal.

Aku mengangguk paham.

Jadi, aku menyarankan Franzel untuk menuliskan surat pada seluruh keluarga dekat atas semua yang terjadi. Aku menyuruhnya mengatakan semuanya, bahkan atas apa yang dilakukan North dan apa yang dilakukan Franzel padaku. Sungguh, aku benar-benar tak ingin ada yang ditutupi lagi. Meski ini akan memicu perselisihan antara keluargaku dan keluarga Franzel.

Surat merupakan cara yang paling ampuh. Jika Franzel pandai menuliskan buku harian tentang apa yang telah ia lakukan, tentu diapun pandai menuliskan surat untuk menjelaskan semuanya. Setidaknya, seseorang takkan mampu meretas surat. Franzel tentu mengirimkan surat itu dalam bentuk paket, seperti brangkas dengan kode-kode rahasia yang jika kodenya salah dibuka maka paketnya akan rusak dengan sendirinya.

"Baiklah," ucapku akhirnya.

Franzel lalu melanjutkan langkahnya, saat dia menginjak tangga ketiga, dia turun lagi dan menatapku. "Aku hampir lupa mengatakan bahwa Max sudah siuman satu jam yang lalu, kau boleh menjenguknya."

Another HopeWhere stories live. Discover now