14 (Truth)

13.2K 930 40
                                    


Rasa kehilangan itu masih melekat di dadaku, seperti luka bakar yang tak kunjung mengering. Beberapa hari setelah kematian Grey aku sering berimpi tentangnya, tentang masa kecil kami. Itu membuatku justru semakin merindukannya.

Aku tak pernah menangis lagi meski setiap pagi aku terbangun dengan rasa hampa di dadaku. Dua hari berlalu, dan aku berfikir untuk menghentikan semua ini. Tenggelam dalam kesedihan merupakan ide terburuk saat ternyata kau masih punya banyak hal di dunia yang belum kau tuntaskan. Franzel juga memaksaku untuk kembali masuk ke sekolah agar aku memiliki kesibukan, mengingat dia juga begitu sibuk dan tak bisa menemaniku di rumah. Itu saran yang bagus.

Dan di hari ketiga, aku akhirnya mau keluar rumah. Franzel benar, seharusnya aku menuruti sarannya sejak kemarin. Suasana sekolah sedikit membuatku merasa lebih baik, meski beberapa dari mereka justru mengingatkanku tentang kesedihan yang kualami dengan cara mengucapkan bela sungkawa atas Grey. Aku hanya melempar senyum palsu untuk mereka, berpura-pura kuat sudah menjadi kebiasaanku.

"Aku menghubungimu sejak kemarin, mengirimu pesan lebih dari seratus kali. Kemana saja, kau?" Ansel memberiku sambutan yang buruk. Dia menghalangi jalanku ketika hendak berbelok menuju kelas.

Sebelah alisku terangkat dan terkekeh pelan. Wajahnya begitu manis jika sedang khawatir. "Aku mematikan ponselku, semuanya berisi tentang ucapan turut berduka. Banyak nomor yang tidak kukenal. Itu hanya membuatku merasa lebih buruk." Aku berkata jujur sambil mengangkat kedua bahu.

"Oh, Hope..." Ansel menarikku ke dalam pelukannya. Begitu hangat dan tulus. "Aku begitu mencemaskanmu," balasnya berbisik di telingaku.

Aku membalas pelukannya singkat, sebelum akhirnya kami sama-sama mengurai. "Tidak ada yang perlu kau cemaskan tentangku," ujarku.

Ansel memutar bola matanya, "yang benar saja! Bagaimana aku tidak mencemaskan gadis yang aku su—,"

"Hope..."

Ucapan ansel terputus karena suara itu. Aku dan Ansel menoleh ke kanan, ke sumber suara yang menganggu obrolan kami. Dadaku seperti diketuk palu, dan aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku ketika melihat sosok yang kini berdiri di depanku. Menatapku dengan gemetar, rasa takut dan gengsi menyatu jelas di wajahnya.

"Gwen?" aku berucap lirih.

Suara deheman Ansel membubarkan lamunanku, dia terlihat sedikit merasa terganggu namun gerakan matanya seolah memberiku kode bahwa Gwen sepertinya ingin berbicara denganku. Ansel sempat melempar senyum dan menepuk bahuku, sebelum dia pergi meninggalkanku berdua dengan Gwen.

Gwen menggerakkan kepalanya ke satu arah, memberiku isyarat untuk mengikutinya. Sambil menimbang-nimbang dan mengatur nafas, akhirnya kakiku melangkah mengikutinya.

Kami duduk bersebelahan di bangku kosong tepat di gedung olahraga. Tak begitu ramai, hanya ada beberapa siswa laki-laki yang sedang bermain basket di sana. Kami membiarkan detik-detik bisu itu berlalu, sepertinya dari kami sama-sama takut untuk memulai pembicaraan duluan.

"Aku turut berduka cita soal..."

"Huh, sekali lagi kau berkata seperti itu, aku tak segan melayangkan pukulan untukmu, Gwen." Entah aku bercanda atau tidak, yang jelas aku sudah bosan mendengarnya. Kalimat itu hanya menambah kadar rasa kehilanganku. "Lagipula sudah terlambat," sambungku dengan nada yang melemah. "Itu sudah 3 hari yang lalu."

Gwen menarik nafas, seolah dia berusaha mengatur emosinya yang selama ini dia pendam. "Aku muak dengan semua ini," ucapnya datar. Matanya lurus ke depan menatap seorang anak laki-laki yang baru saja melakukan slam dunk.

Another HopeWhere stories live. Discover now