10 (Hallowen)

18.3K 1.1K 52
                                    

Kami saling menatap detik itu, detik dimana pikiranku berhenti bekerja, detik dimana hatiku seperti dihentakkan oleh sesuatu dengan keras. Aku membeku, menikmati keheningan, meresapi kalimat yang barusan ia ucapkan.

"Kau telah mencuri hatiku, Hope." Franzel mengegaskan kalimat serupa lewat sebuah bisikan yang meremukkan tulang rusukku.

Aku masih diam, menatap matanya seolah mencari-cari kebohongan di dalam sana. Namun aku gagal. Justru ketulusan jelas terpantul dari manik matanya. Aku menarik nafas panjang, tersenyum tipis, dan sedikit menunduk. Hanya itu yang bisa kulakukan saat aku tak tahu harus berkata apa.

"Franzel..." aku mengiggit bibir bawahku, masih menunduk hingga tanpa sengaja bibirnya menyentuh hidungku.

"Hope..." ucapnya lebih lembut. Bahkan jari telunjuk Franzel bergerak menyentuh ujung daguku agar terangkat kembali. Dia sedikit menunduk untuk menjangkau mataku.

Aku menarik nafas saat degup jantungku berpacu kencang. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Franzel." Aku menatapnya takut-takut.

"Kau tidak harus melakukan apa-apa, aku hanya ingin kau tahu, dan aku ingin kau berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkanku. Meskipun kau membenciku. Aku bisa gila jika itu terjadi!" Mata Franzel menyipit, menuntut agar aku menyanggupi.

Aku membasahi bibir bawah, menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Bagaimana dengan dirimu? Apa kau juga akan berjanji untuk tidak menghukumku dengan cara seperti itu lagi?"Aku melemparkan pertanyaan yang cukup membuat Franzel sedikit menengang.

Dia memejamkan matanya, sedikit mengatur nafas lalu perlahan menatapku kembali. "Hope, percayalah padaku. Aku mencoba. Ini memang sulit, karena aku sudah terbiasa..." jawabannya membuat jantungku seolah merosot ke lantai. Lalu Franzel meraih tangan kananku, dan meletakkan tanganku itu di pipinya. Dia memejam sejenak seolah menikmati dingin tanganku. Franzel membuka mata perlahan dan menatapku penuh harapan. "Tapi, aku akan mencoba, apa kau mau membantuku?"

Aku menenguk ludah samar, jantungku terasa semakin berbedar. Dan aku bisa merasakan seperti ada akar yang melilit perutku. Aku berfikir.

"Bagaimana aku bisa membantumu?" tanyaku ragu dengan diriku sendiri.

Franzel tersenyum, dia mengecup ujung jari-jariku singkat, lalu dia menatapku lagi. "Hanya dengan selalu berada di pihakku, itu sudah sangat membantu."

Entah mengapa aku spontan menarik senyum, lalu perlahan aku mengangguk samar. Aku sendiri tak tahu mengapa aku begitu yakin bahwa aku memang akan selalu ada di pihaknya. Dan seperti dikendalikan oleh suasana, aku sama sekali tak membatah apapun lagi.

"Jadi, bisakah kita mencoba untuk menjadi pasangan normal, Hope?" tanya Franzel dengan kerilangan mata yang samar-samar menggodaku.

Aku merasakan pipiku memanas dan aku berusaha menahan senyum, namun gagal. Aku bahkan terkekeh seolah tak malu dengan sisa-sisa air mataku yang baru saja mengering.

"Mungkin, Franzel. Mungkin saja bisa," jawabku akhirnya.

Franzel tersenyum, menghargai jawabanku. Dia kembali menarikku ke dalam pelukannya, kali ini aku membalasnya tanpa beban. Franzel begitu hangat seperti selimut tebal di musim dingin. Aku menenggelamkan wajahku di antara salah satu bahunya, menumpahkan segala yang kurasakan padanya. Meskipun aku masih ragu akan hubungan ini, namun aku tetap menghargai niat baik seorang James Franzel.

Aku yakin tidak mudah untuk mengatakan kejujuran, dan terkadang kita memang harus menghargai seseorang yang berkata jujur meskipun orang itu sudah menyakiti kita. Terkadang aku bingung pada diriku sendiri. Aku bingung apakah ini perangai baik atau buruk. Aku memiliki kecenderungan terlalu mudah memaafkan orang lain padahal sebenarnya mereka tidak berhak untuk dimaafkan. Apapun itu, aku harap ini adalah perangai yang bisa membawaku untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar.

Another HopeWhere stories live. Discover now