3 (Only Love, True Love)

23.5K 1.4K 86
                                    

Franzel ternyata serius dengan keputusannya untuk memperketat pengawasanku. Jika biasanya dua asisten yang secara diam-diam dia kerahkan untuk mengawasiku di sekolah, kini terang-terangan dia menambah jumlah asistenya di setiap sudut sekolah menjadi 6 orang.

Itu memang membuatmu merasa tidak nyaman, dan aku akan merasa aneh saat asisten-asisten itu terlihat oleh mataku, mereka akan mengamatiku seharian. Untungnya asisten ini sudah dilatih untuk tetap merahasiakan identitasku di sini. Jadi aku tak perlu khawatir saat berpapasan dengan mereka karena kami akan berpura-pura saling tidak mengenal.

Sekolah tak mempermasalahkan hal itu, karena Franzel mengatakan bahwa dia sedang menjaga sepupunya, bukan istrinya. Ya, sebagian orang mengenalku sebagai sepupu Franzel, terdengar lucu namun itu merupakan improvisasi yang sering kukatakan saat teman-temanku mendapati aku sedang berada di luar rumah bersama Franzel.

"Kau yakin, kau tidak apa-apa, Hope?" Ansel mengulangi pertanyaan itu lebih dari sepuluh kali pagi ini, aku sampai jenuh mendengarnya tapi di sisi lain aku senang karena raut wajah khawatirnya terlihat jelas. Aku selalu merasa senang jika ada yang peduli padaku dengan cara yang lembut seperti ini, daripada mereka yang mengaku peduli tapi menggunakan cara yang keras untuk menunjukkan kepeduliannya padaku, seperti cara Kentish misalnya.

Aku hanya terkekeh pelan tanpa menatapnya, aku masih sedang menyalin tugasku ke dalam buku, "selama kau masih bisa melihatku tertawa dan berkeliaran di sekolah, itu artinya aku baik-baik saja." Aku menegaskan kalimatku, dengan harapan dia takkan bertanya lagi.

Ansel menarik nafas lega. "Kau tahu? Semalam aku tidak tidur dan menghabiskan malamku menton berita di TV untuk mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi korban dalam peristiwa kemarin." Benarkah dia melakukan itu?

Menoleh ke samping, aku menyipitkan mata. "Aku bahkan tidak sempat menonton berita. Apa yang mereka katakan?" tanyaku penasaran, lebih tepatnya ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Ya, semalam aku masih terlalu lelah dan Franzel memaksaku untuk beristirahat lebih awal.

"Dugaan sementara perampokan, tapi siapa yang mau merampok di perpustakaan? Aku lebih berfikir teror yang ditujukan untuk seseorang atau pihak tertentu." Ansel menjelaskan dengan pulpen yang ditempelkan ke pelipisnya.

Aku menopang dagu memikirkan kembali apa yang dia ucapkan. Sepenuhnya aku setuju bahwa kemarin itu memang bukan sebuah perampokan, jelas itu terencana. Dan semakin kesini, aku semakin merasa bahwa ini semua memang saling berhubungan. Perpustakaan-pesan dari Max- ledakan-dan sesuatu yang berusaha disembunyikan Franzel. Mungkin benar kata Max, aku harus lebih berhati-hati.

"Aku menceritakan ini pada Angelina dan dia ikut khawatir." Ucapanya menyadarkanku, aku mengerutkan kening, menatap Ansel heran. "Aku sudah menceritakan tentangmu pada Angel, sejak pertama kali indisen kau menabrakku," kulihat Ansel mengiris sambil menggaruk belakang lehernya yang pastinya tidak gatal.

"Astaga, kau melakukannya?" Aku masih tak menyangka bahwa Ansel sudah sejauh itu. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng, dia juga tersenyum dan lesung pipitnya kembali terlihat.

"Dia begitu penasaran denganmu, kapan-kapan kau harus ikut aku untuk bertemu dengannya. Bagaimana?" Ansel menawariku hal yang membuat kedua alisku bertaut. Serius dia mengajakku bertemu dengan kakaknya yang cerewet itu?

Sebenarnya aku ingin menolak, namun caranya menatapku membuatku lemah dan akhirnya tak tega. Terpaksa aku mengangguk samar dan kembali fokus untuk menyalin puisi yang kubuat kemarin ke dalam buku tugas sekolah. Aku senang mengenal Ansel, selain karena dia pria yang ramah, dia juga menjadi satu-satu makhluk hidup yang membuatku betah berada di kelas tambahan Sastra.

Another HopeWhere stories live. Discover now