[2] The Dinner

334K 22.1K 4.6K
                                    

Suara Pak Mahadi selaku guru mata pelajaran yang sedang mengabsen seisi kelas membuat semua murid diam dengan tertib menunggu namanya dipanggil. Namun, tidak dengan Fea dan Adel yang malah cemas memikirkan nasib sahabatnya.

Setelah kejadian sebelum bel tadi, Gatari langsung pulang dari sekolah.

"Gatari Anastasya?" panggil Pak Mahadi.

"Eh—itu, Pak," sahut Adel. "Pulang. Gak masuk."

"Pulang?" kali ini Pak Mahadi melepas kacamatanya. "Kenapa?"

Para murid yang mengetahui kejadian tadi pagi mulai berbisik lagi. Mereka masih tidak menyangka kalau seorang Gilang akan melakukan hal seberani segila itu di sekolah.

"Sakit, Pak." Fea menjawab dengan percaya diri. "Sesak napas."

"Siapa juga yang gak shock abis digituin?" bisik seorang murid perempuan yang duduknya tepat di belakang Fea. "Gila nggak, sih, si Gilang?"

"Oh?" Pak Mahadi kini berdiri, tapi masih memegang absen di tangannya. "Tapi sudah sempat di sekolah?"

"Sudah, Pak," jawab Adel dan Fea serentak.

***

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Gatari duduk di mobil sambil memeluk erat tas sekolahnya. Jantungnya masih belum kembali berdetak normal. Dan hampir setiap lima detik sekali, kejadian di sekolah tadi melintas di benaknya.

Sembari menggigiti bibirnya sendiri, Gatari berusaha meredam kegelisahan yang menyelimuti. Bayangan sosok Gilang di depan wajahnya selalu muncul ke mana pun Gatari menoleh. Ia merasa tidak aman dan lupa caranya untuk bisa tenang.

"Non, kita sudah sampai rumah."

Suara Pak Iman dari depan membuyarkan lamunan Gatari di bangkunya. Pria itu mendongak sedikit, mengintip ke belakang melalui kaca spion di tengah sebab sejak mereka tiba di rumah, Gatari belum juga turun.

Langkah kaki Gatari begitu tergesa-gesa masuk ke rumah. Asti dan Endang—pramuwisma di rumah itu—kebingungan saat melihat Gatari datang. Pasalnya, ini masih jam sembilan. Tidak semestinya Gatari ada di rumah.

Gatari pun langsung melemparkan tubuhnya di sofa tanpa mengatakan apa pun. Tasnya terserak di karpet, dasi seragamnya melonggar dan kancing bagian atas seragamnya terbuka. Wajah Gatari menghadap ke atas, ke arah langit-langit yang digantungi chandelier berkilau.

"Non, kok sudah pu—"

"Sssh!" Gatari menggerak-gerakkan kakinya, menyuruh semua orang untuk diam dan tidak menanyakan apa pun.

Asti seketika bungkam dan mundur, menelan lagi pertanyaannya.

Di rumah tidak ada siapa-siapa kecuali para pekerja; pembantu, sopir, dan tukang kebun. Dimas—ayah dari Gatari—berada di kantor. Istrinya, Agatha, sedang menjenguk temannya yang baru melahirkan semalam. Arika, kakak perempuannya, sudah berangkat ke kampus.

Tidak lama setelah hening tercipta di ruang megah itu, tak terasa air mata mengalir di pelipisnya hingga ke telinga. Amarah dan perasaan malu bergumul di dalam hati, membuatnya geram dan ingin sekali menghajar Gilang. Ia ingin menampar lelaki itu keras-keras, bahkan kalau bisa sampai tangannya kebas.

Sepercik sesal mulai hadir di dalam hatinya sebab ia tidak sempat melakukan apa-apa. Keterkejutannya terlalu besar. Seandainya Gatari cepat bertindak, ia pasti akan melakukan apa pun untuk membalas perbuatan Gilang. Paling tidak tangannya akan melayang untuk menjambak rambut lelaki itu, lalu kakinya akan terangkat dengan cepat di antara kedua kaki Gilang sampai ia kesakitan.

Gatari benar-benar kesal. Dadanya seperti ingin meledak dipenuhi dengki.

Jika ia bertemu lagi dengan Gilang, Gatari berjanji ia akan melakukan pembalasan.

Feel Real (SELESAI)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt