Bab Sepuluh

2.2K 40 21
                                    

Pintu perpustakaan itu akhirnya dibukakan untuk Ruben. Surat yang ditunjukkan Ruben kepada dua penjaga pintu perpustakaan, ampuh meyakinkan mereka untuk mengijinkan Ruben masuk. Terlebih, bahasa Ibrani yang dikuasai dengan sangat sempurna oleh Ruben, menyebabkan kedua pria berbaju hitam itu tidak menaruh curiga sedikit pun pada maksud kedatangan Ruben.

Sekali lagi, Ruben diminta untuk menunjukkan surat yang sama saat masuk lebih dalam kepada seorang wanita yang berada di depan ruangan. Wanita setengah baya itu berdiri dibalik sebuah meja besar berwarna hitam yang cukup menutupi tubuh wanita itu sehingga hanya terlihat  kepala sampai ke leher saja.

“Maksud kedatangan anda?”

“Aku mencari sebuah buku untuk dibaca.”

“Anda tidak diijinkan meminjam buku?”

“Aku tahu.”

“Sekarang, tolong serahkan handphone dan kartu pengenal anda!”

“Saya orang Indonesia,” Ruben mengambil sebuah passport untuk diserahkan pada wanita itu, “saya hanya membawa passport.”

Wanita mengangguk, lalu memperhatikan dengan seksama isi dalam passport itu, kemudian menyamakan wajah Ruben dalam foto dengan wajah Ruben sebenarnya.

“Handphone?”

Ruben lalu menyerahkan handphonenya.

“Anda pertama kali ke tempat ini?”

“Ya. Saya seorang mahasiswa.”

“Perlu anda ketahui, bahwa anda mempunyai waktu kurang dari 2 jam untuk berada di sini. Dan alat tulis, alat perekam, alat komunikasi tidak diperbolehkan berada di sini. Lalu, jika anda ingin menulis data, kami akan memberikan alat tulisnya. Tetapi kami mempunyai hak untuk mengkopi semua tulisan yang akan anda bawa. Anda setuju dengan persyaratan tersebut tuan?”

“Saya tidak ada masalah dengan hal tersebut.”

“Baguslah,” kata Wanita itu, “silahkan membaca!”

Ruben tersenyum pada wanita itu. Ruben akhirnya membalikkan pandangannya ke arah samping dan menemukan sebuah suasana perpustakaan yang sangat kelam sekali. Pencahayaan pada ruangan itu sangat buruk daripada perpustakaan yang ia kunjungi kemarin.

Ruangan perpustakaan itu tidak istemewa, tapi Ruben tahu buku-buku di dalamnya sangat istimewa. Rak-rak buku dibuat sangat panjang dan tinggi, untuk mengapai buku teratasnya diperlukan tangga khusus yang memang sudah disiapkan pada tiap koridornya.

Terhitung hanya ada tiga belas rak buku yang menciptakan dua belas koridor utama. Rak-rak buku itu tersusun seperti rak yang terdapat pada supermarket, walau tidak tertulis secara kategori buku. Di tiap koridornya tergantung tulisan kecil berisi nomer index buku-buku yang ditulis pada kayu persegi yang dikaitkan dengan kawat panjang sampai menyentuh langit-langit yang cukup tinggi.

Pada sebelah utara ruangan, ada beberapa meja kecil dengan kursi tunggal terdapat di sana. Uniknya meja-meja tersebut dibuat seperti batang pohon yang terlihat garis-garis usia pohon.

Ruben melewati tiap koridor sekali lagi dengan perlahan sambil memperhatikan nomer index pada tiap papan. Ia sedikit kesulitan untuk menemukan lokasi buku yang ingin ia tuju karena sampai pada koridor terakhir ia menyimpulkan tidak ada nomer yang ia inginkan di dalam setiap papannya.

Sesekali Ruben mencoba memasuki tiap koridor, melihat ke kanan dan ke kiri. Secara perlahan Ruben mencoba melihat kertas kecil pada tiap tulang rak, namun masih saja tidak menemukan buku yang ia inginkan.

Lalu ia mendekat diri pada barisan buku-buku yang masih terlihat sangat baru pada sebuah koridor terakhir yang ia kunjungi. Buku-buku pada barisan itu masih sangat terawat bahkan terlihat seperti buku-buku pada toko buku ternama.

untitled...Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora