Bab Sembilan

2.2K 38 10
                                    

Mereka memilih untuk menikmati makanan milik restoran orang Yahudi. Memang tidak bisa dibilang dekat, tetapi mereka akhirnya sampai di restoran yang tidak terlalu ramai saat itu.

Seperti halnya di restoran Korea, mereka terlebih dahulu disuguhi sebuah makanan pembuka yang cukup unik seperti salad dan bubur kacang polong. Saladnya pun tidak umum, karena salad yang disajikan untuk mereka terdiri dari rajangan ketimun, tomat, buah zaitun dan ada pula tabouleh yang merupakan ciri khas salad turki.

Selanjutnya mereka dikejutkan oleh ikan besar yang terkenal dengan ikan petrus yang berasal dari danau Galilea. Ikan tersebut digoreng dengan tepung dan disajikan dengan sambal.

“Kalian tahu tidak?” tanya Ruben sambil mencocolkan sambal pada ikan pada tangannya, “ikan yang kita makan disebut ikan Petrus.”

“Tidak tahu.”

“Aku malah tidak pernah mendengarnya.”

“Tapi, kalian tahu tidak kalau ikan ini juga ada di Indonesia.”

“Oh ya?” tanya Mikha penasaran.

“Hanya tidak sebesar ini. Ikan di Indonesia lebih kecil. Kalau di Indonesia kita sebut dengan ikan Nila Merah.”

“Ya ampun.” seru Nami, “jauh-jauh ke sini hanya untuk makan ikan Nila merah.”

Mereka pun tertawa lepas.

“Oh ya kak,” kata Ruben lagi. “kalau aku boleh bertanya, kakak sendiri yakin bahwa Yohanes masih hidup?”

“Aku yakin. Walau belum menemukan satu pun fakta itu. Tapi aku yakin.”

“Kira-kira, apa kakak pernah berpikir atau bertanya-tanya, apa yang diketahui oleh profesor Jeremia sehingga dia dibunuh?”

“Aku tentu saja pernah memikirkannya. Aku yakin profesor telah menemukan data tentang kebenaran yang tidak boleh diketahui oleh dunia. Misalnya, ternyata Yonanes memang benar-benar masih hidup.”

“Lantas mengapa kalau dia hidup? Mengapa harus ditutup-tutupi? Apa ruginya atau apa efeknya terhadap dunia? Paling dia akan menjadi orang tertua di dunia saja. Dan justru itu akan menjadi sangat menarik dan dia akan terkenal.”

“Itulah. Kita harus segera mencari tahu jawabnya.”

Mereka terdiam sejenak dan berkonsentrasi pada makanan mereka masing-masing. Terlebih Mikha yang sudah merasa sangat lapar.

“Kenyang....” seru Nami lagi sambil mengelus-elus perutnya. Ia lalu meneguk segelas jus jeruk yang masih belum terjamah itu, “kenyang sekali...”

“Aku juga.”

“Ya benar. Makanan pembukanya saja hampir membuat aku kenyang.”

Nami memanggil pelayan restoran itu untuk meminta tagihan. Tak lama pria dengan pakaian serba putih itu datang dengan membawa tagihan kecil lalu menyerahkan pada Nami. Nami kemudian mengeluarkan kartu kreditnya lalu menyerahkan kepada pelayan itu. Selang beberapa menit pelayan itu kembali dan meyerahkan kartu kreditnya kepada Nami, Nami memberikan sedikit tips kecil kepada pelayan itu.

Tak lama mereka sudah berada di luar restoran itu dan siap untuk pergi ke Perpustakaan Nasional. Karena sudah lelah berjalan, Ruben setuju dengan saran Nami untuk naik taksi.

“Tenang saja. Aku kan sponsor kalian,” kata Nami sambil tersenyum lebar.

Maka dalam hitungan menit saja Nami dan kedua pemuda itu sampai di pintu utama kampus. Pada dasarnya tempat itu sama seperti kampus yang biasa dapat dilihat di Indonesia.

Setelah sedikit bertanya, mereka masuk ke dalam perpustakaan tersebut. Di pintu masuk berdiri seorang wanita gemuk, berkacamata dan terlihat menyebalkan yang dengan terpaksa membuat senyum pada pipinya menyambut mereka. Wanita itu meminta kartu member perpustakaan atau kartu mahasiswa. Ruben kemudian menyerahkan kartu yang tadi diambilnya di dalam dompet.

untitled...Where stories live. Discover now