Bab Tujuh

2.2K 45 1
                                    

“Ini rumah kakekku!”

Ruben terlihat sangat bersemangat ketika Nami dan Mikha setuju untuk mengunjungi kakek Ruben terlebih dahulu. Setelah mereka menikmati sarapan pagi di kamar hotel mereka, mereka langsung saja menuju Kapernaum, sebuah kota yang berada di pinggiran pantai sekitar dua sampai tiga kilometer dari tempat mereka menginap. Kota ini merupakan kota yang dulu sangat ramai dan merupakan kota di mana aktifitas perdagangan sangat pesat. Kota ini tempat yang stretegis karena merupakan rute utama  dari perdagangan rempah-rempah, buah-buahan, ikan asin dan kain sutra dari tempat lain.

Mereka memutuskan untuk naik bis menuju kota ini. Karena tidak terlalu jauh, mereka hanya menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit hingga sampai di sini. Tapi mereka juga harus menempuh sekitar lima menit untuk berjalan menuju tempat ini.

Rumah yang ada di hadapan mereka tidak sama seperti yang Mikha pikirkan. Mikha berpikir rumah kakeknya Ruben akan telihat seperti kastil kuno jaman dahulu atau setidaknya sebuah rumah yang terbuat dari batu-batu besar. Tapi kenyataannya, rumah ini tidak tampak seperti itu, justru rumah ini tampak modern dan sama seperti rumah-rumah yang dibuat besar-besar di Indonesia.

Ruben memencet bel rumah itu.

“Wah...Besar sekali rumah kakekmu Ben?” seru Nami kaget, “aku pikir tidak akan sebesar ini?”

“Beginilah.”

Tidak lama suara pintu terbuka. Seorang wanita separuh baya dengan muka membosankan keluar dari dalam rumah. Bentuk muka wanita itu tirus, pucat seperti patung dan cara wanita itu memandang kesemua tamunya dengan penuh tatapan curiga.

Raut wajahnya berubah saat melihat Ruben ada di salah satu tamunya.

“Ruben. Kau Ruben...”

Ruben lalu tersenyum dan memeluk wanita itu dengan ramah. Wanita itu pun menyapa ke semua tamunya satu-persatu masih dengan sinis.

“Dia bibiku. Bibi Joanna.”

Mikha dan Nami mengangguk ramah.

Wanita itu menyalami Mikha dan Nami, tiba-tiba saja wanita itu mengucapkan beberapa kata yang tidak mereka mengerti. Tapi Ruben mengerti, dia dengan lancarnya berbicara dengan Joanna.

Dan baru kali ini, Mikha dan Nami mendengar Ruben berbahasa Ibrani semenjak mereka sampai ke tanah Israel ini. Dari gaya bahasanya terlihat sekali bahwa Ruben sangat mahir mengunakan bahasa itu.

“Ayo! Kakekku di dalam!” ajak Ruben.

Mereka akhirnya masuk ke rumah itu. Mereka disambut oleh teras rumah yang begitu indah dengan sebuah kolam ikan di depannya. Di sekeliling mereka banyak sekali tiang-tiang kecil berbentuk terowongan yang ternyata adalah sebuah pohon anggur.

“Tenang saja,” kata Ruben lagi, “kakekku bisa berbahasa Inggris kok. Jadi jika kalian ingin bertanya-tanya seputar sejarah, mungkin kakekku bisa membantu.”

“Bagus kalau begitu.”

Mikha masih belum memberi tahu Ruben soal tujuan sebenarnya mereka ke Israel. Ia mengatakan pada Ruben bahwa mereka datang untuk mempelajari sejarah bangsa Israel saja.

Tidak lama mereka sudah berada di sebuah ruang tamu yang cukup besar dan sejuk. Sebuah perapian berada di sisi tengah ruangan yang langsung saja terlihat mencolok di ruangan itu. Selain perapian yang dibuat begitu klasik, patung-patung kuno pun terlihat di setiap sudut ruang yang tersisa.

Mereka duduk di sebuah sofa berwarna biru yang terlihat sedikit aneh berada di sana. Tiba-tiba seorang pria tua berjalan perlahan dengan mengunakan tongkat pada tangan kanannya masuk ke dalam ruangan itu.

untitled...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang