I Hate You, Lee Jeongmin!

57 13 44
                                    



A Fanfiction by OtherwiseM

|| Lee Jeongmin (Boyfriend) and You || Fluff, failed!Comedy || VIgnette (1200+ words) || PG-15 ||

A-apa?! Kya! Kau benar-benar akan mati hari ini, Lee Jeongmin!

.

.

.

"Ya! Kau akan mati, Lee Jeongmin! Awas saja! Kali ini, kau tidak akan bisa lepas dariku! Kyaakk! Aku benar-benar membencimu, Lee Jeongmin!"

Oke, ini sudah kaleng kelima yang kuremukkan dan kulempar kasar ke tong sampah. Eritrosit mulai menggumpal di dampal tanganku dan lagi, perutku mulai kembung karena kebanyakan minum soda. Huh, yang benar saja! Adalah hal aneh kalau sampai aku tidak 'segila' ini! Lelaki itu ... lelaki itu ... akkh! Pokoknya aku benar-benar benci Lee Jeongmin!

"Mati sajalah kau, Lee Jeongmin!" cecarku selagi menendang udara. Memberengut geram dan meniup poni.

Sambil jingkrak-jingkrak dan mengepalkan kedua tangan di depan dada, aku menuding dinding dengan tatapan sengit. Ah, masa bodoh mau ada orang yang melihatku atau mengataiku gila, atau tertawa, atau apalah itu, pokoknya aku tidak peduli! Lagipula ini sudah hampir tengah malam, dan orang aneh mana yang mau berkeliaran di koridor kampus seperti ini—oke, itu aku.

Menarik napas panjang, aku siap melakukan beberapa gerakam taekwondo kalau saja tidak ada sepasang tangan yang sekonyong-konyong melingkar di perutku. Aku membelalak, merasakan debar jantung yang menggila manakala sebuah dagu menempel di pundakku.

"Apa kau sudah lama menungguku?"

Aku mendelik,

"KYAAK!" lalu berteriak, dan—

BUGH!

"AKH! YA! APA YANG KAU LAKUKAN?!"

Menyeringai senang, aku berbalik, menatapnya yang menggelepar berlebihan. Hoho, tinju ini ampuh juga, batinku sambil meniup kepalan tangan.

"Ya ampun! Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu? Aku ini kan pacarmu! Oh, hidungku rasanya mau patah saja! Dan—AKH! AKU BERDARAH! AKH, AKU AKAN MATI!"

Jeongmin mulai menggerutu. Ah, kalau sudah begini akan sulit berhenti. Rasanya ingin kucapit saja bibirnya dengan jepit jemuran. "Aku hanya meninju pelan wajahmu, jangan berlebihan!"

Jeongmin menatapku garang, "Tapi aku sampai terpental dan berdarah! Apa itu masih bisa disebut 'pelan'?!" Ia menunjukkan telapak tangan dan bekas darah di bawah lubang hidungnya.

Terperanjat, mataku membola. Aku bersumpah tidak mengerahkan tenaga dalamku sama sekali, hanya gerakan refleks untuk menanggapi kelakuannya. Tapi kenapa bisa sampai berdarah begitu? Oh, emosiku mengerikan rupanya. Kutarik napas panjang, berusaha mengembalikan wajah dinginku yang sudah menguap entah ke mana.

"Dasar merepotkan!" Aku berjalan mendekatinya. Ingin sekali tertawa saat Jeongmin memberi respon mundur menjauhiku dengan posisi jatuh-alay-nya. Persis seperti adegan dalam film horor.

"K-kau m-mau apa?" tanyanya gelagapan.

Aku mengulurkan tangan dengan wajah datar. Alih-alih menggapainya, lelaki itu malah menatapku dengan alis tebal yang hampir menyatu. Sambil mendecih, aku menarik tangannya dan menggiringnya untuk duduk di salah satu bangku terdekat. Kapas yang kuambil dari tas kusodorkan padanya. Tapi lagi-lagi ia hanya memberi respon diam sambil menatap bergantian kapas dan wajahku yang masam.

"Apa ini?"

"Memangnya ini terlihat seperti jeruk?" Bahkan setelah aku berkata begitu, Jeongmin masih saja menunjukkan wajah bodohnya. Aku mendengus sambil meraih tangannya dan meletakkan kapas itu di sana.

Namun tetap saja Jeongmin berpolah tak paham. Baiklah, mungkin aku yang harus melakukannya. Kuangkat kepalanya—Jeongmin hendak memulai protesnya, namun tak kupedulikan seperti biasa. Kapas di tangannya kuambil kembali untuk dimasukkan ke lubang hidungnya.

"Masa hal mudah begitu kau tidak bisa melakukannya? Dasar payah!" ejekku sambil memelet.

Jeongmin tertawa, "Dasar gadis barbar!" Ia membenahi letak kapasnya yang sudah hampir keluar. "Kau mau bicara apa? Di telepon kedengaran serius sekali."

Pertanyaannya melempar ingatanku pada sesuatu mengerikan yang baru kutonton pagi ini. Sesuatu yang membuatku kesal sampai ubun-ubun, namun berderai air mata di waktu bersamaan. Sampai detik ini aku masih terus berusaha melupakannya, dan untuk sesaat memang berhasil. Sayang, lelaki itu menariknya kembali ke permukaan.

"Aku ingin ... kita putus saja."

"A-apa?!" Jeongmin langsung menoleh. Matanya menyalak saat ia berteriak, "Ya! Berhenti bercanda! Ini tidak lucu!"

Aku menggeleng pelan, "Aku tidak sedang bercanda."

"T-tapi kenapa ...?"

Aku menghela napas, entah sudah yang keberapa puluh kali untuk hari ini. "Aku hanya merasa kita tidak cocok."

"Hanya itu?"

Aku mengangguk.

Jeongmin berdecak, "Jadi hanya karena alasan sepele seperti itu kau mau minta putus? Oh, ayolah! Semua orang juga tahu kita tidak cocok! Aku seorang idol yang digandrungi para gadis dan kau gadis feminim yang seperti preman."

Mataku berkilat. Namun Jeongmin bertingkah seakan tidak melihatnya.

"Tapi, mana bisa kau minta putus hanya dengan alasan seperti itu! Bagaimana pun juga, kita sudah bersama hampir 4 tahun! 4 tahun! Itu bukan waktu yang singkat! Sudah banyak waktu kita lalui tapi kau ingin mengakhirinya hanya dengan alasan seperti itu?" Ia memegang kedua bahuku, memaksaku bersitatap dengannya, "kalau hanya alasan 'kita tidak cocok', pasti kita sudah berakhir saat baru saja memulainya. Ini sudah terlampau jauh. Kau pasti berbohong."

Aku merenung.

"Sekarang beri aku alasan bagus agar bisa menerimanya!"

Sial! Aku lupa kalau Jeongmin itu orangnya teliti. Sebenarnya aku tahu betul kalau itu alasan yang bodoh. Bagaimana bisa setelah berjuang menyesuaikan diri selama hampir empat tahun kami putus lantaran tidak cocok? Ah, aku dapat bogem mentah yang memalukan dari Jeongmin.

"Jadi apa?" Jeongmin mengangkat alisnya.

Kutundukkan kepala dalam-dalam, berharap roma menyedihkan ini tak tertangkap netranya. "Karena aku ... tidak tahan lagi."

"Apa maksudmu?" Aku mendelik, ia nampak sangat kebingungan. Sembari melepaskan tangannya dari kedua pundakku, aku berdiri.

"Aku tahu kau seorang idol. Aku tahu itu hanya sandiwara. Aku tahu kau tidak bisa menolak. Aku tahu kau harus profesional. Tapi aku tidak tahan lagi! Semua manusia punya batas tertentu, 'kan? Dan ini sudah melampaui batas yang kupunya. Itulah alasanku."

Awalnya ia hanya menatapku dengan alis jungkat-jungkitnya, namun begitu aku merampungkannya, ia tergelak sambil memegangi perut. Suaranya yang membahana menusuk gendang telingaku bagaikan sebilah belati panas.

Kupukulkan kuat-kuat tasku sampai ia terjungkal jatuh dari kursi. "DASAR MENYEBALKAN! POKOKNYA SAMPAI MATI PUN AKU AKAN TETAP MEMBENCIMU!"

Sebelum merajut langkah, kusempatkan melempar tatapan mematikan padanya. Bersungut, aku menghentak-hentakkan kaki sambil melangkah. Timbulkan gemelatap nyaring yang menggema.

Namun tiba-tiba saja sebuah tangan menarik lenganku sampai aku yang tidak siap terhuyung dengan kepala membentur pundak orang tersebut.

Siapa lagi kalau bukan Lee Jeongmin?

Oh, dia bosan hidup rupanya!

"YA! LEE JEONGMIN APA YANG KAU—"

Aku belum sempat menyemburnya dengan sumpah serapah yang sudah menggumpal di tenggorokan lantaran ia sudah meletakkan telunjuknya di bibirku. Mataku membola.

"Alasan ditolak!"

Melempar tatapan 'Apa?!', aku ingin protes tapi yang kudapat adalah dorongan sampai punggungku menabrak dinding.

"Ah, jadi karena itu kau mau minta putus? Kekanakan sekali!" ejeknya sembari menatap remeh.

"Apa kau bilang?! Kekanakan?! Ya! Memangnya wajar jika seseorang bersikap biasa-biasa saja saat melihat kekasihnya berciuman di depan matanya?!"

Oke, kuakui kekalahanku. Amarahku yang bergejolak tiba-tiba saja meledak jadi butiran air mata. Sungguh fakta menyedihkan bahwa seorang ketua klub taekwondo putri malah mengeluarkan air matanya hanya karena hal konyol seperti ini. Akh, kenapa aku jadi terlihat sangat menyedihkan?

"Oke, aku akan koreksi beberapa kesalahan di sini. Pertama, tentu hal yang wajar kalau kau marah, atau lebih tepatnya cemburu—"

Aku melotot, tapi memang itu faktanya sih. Ish, menyebalkan!

"—tapi kalau sampai minta putus dengan alasan seperti itu, bukankah kekanakan namanya? Aku sudah memeringatimu sejak awal kan tentang konsekuensi yang akan kau terima saat kita baru saja memulai semua ini?"

Aku mengangguk.

"Kedua, aku tidak melakukannya di depan matamu. Kau tidak melihatnya secara langsung, jadi kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Napasku tertahan di tenggorokan manakala Jeongmin meletakkan kedua tangannya di tembok. Mendekatkan wajahnya sampai tersisa jarak satu setengah jengkal di antara kami.

"Ketiga, gadis barbar memang aneh! Kalau diperhatikan baik-baik, semua orang juga tahu itu hanya permainan kamera! Dilihat dari angle seperti itu memang terlihat sedang berciuman, tapi sekali lagi kuingatkan, itu hanya permainan kamera! Sebenarnya itu bukan ciuman yang nyata, bibir kami tidak menempel satu sama lain. Kalaupun menempel juga pasti di-shoot dengan jelas, 'kan? Bukankah percuma melalukan suatu adegan tapi tidak di-shoot dengan baik dan jelas?"

Aku membulatkan mata. "A-apa?! J-jadi?!"

Jeongmin menyeringai puas, "Dan sekarang, akan aku tunjukan sebuah ciuman yang nyata padamu."

A-apa?! Kya! Kau benar-benar akan mati hari ini, Lee Jeongmin!

End

9

White Spot [Drabble & Ficlet]Where stories live. Discover now