Selamat Tinggal #5

Start from the beginning
                                    

***

Sore hari, Pak Darso dan 3 anaknya sudah berangkat melaut. Ghan berangkat setelah menunaikan shalat Asar. Kapal yang mereka tumpangi berbahan fiber dengan panjang tujuh meter dan lebar dua meter. Kapal sampan itu dicat warna biru. Wawan dan Ramli sudah mengisinya dengan bensin sebanyak 30 liter. Bensin itu mereka dapatkan dari seorang tengkulak langganan mereka. Hasil tangkapan mereka pun nanti dijual kepada tengkulak itu dengan harga murah dan dipotong harga bensin tadi. Sementara Ghan sudah menyiapkan jaring, pancing, dan peralatan lainnya dianggap perlu.

Perahu pun mulai melaju melawan ombak yang tiap hari selalu besar. Ghan berdoa semoga usaha mereka dimudahkan dan bisa pulang lebih cepat.

Sampai di tengah laut. Hari sudah gelap. Ghan yakin waktu shalat maghrib sudah datang. Dia mengelurkan kompas penunjuk arah kiblat untuk memastikan arah kiblat. Dia pun shalat.

Wawan dan Ramli memandangi adiknya dengan sinis. Begitupun Pak Darso. Mereka bertiga menikmati perbekalan apa adanya. Sehabis Ghan shalat mereka mulai mencibir Ghan.

"Hah di tempat seperti ini, masih saja kamu melaksanakan shalat. Nanti kerjaan kita terganggu lagi dengan shalat kamu," ucap Ramli.

"Iya, kalau lagi kerja, ya kerja. Jangan mikirin ibadah."

"Betul tuh, apa yang dibilang kakak-kakakmu."

"Saya hanya bersyukur, Pak. Allah telah memberikan kita nikmat berupa nafas dan tenaga sehingga hari ini, kita masih bisa berada di laut untuk mencari penghidupan."

"Apa shalat kamu itu memang bisa membantu pekerjaan kita?" tanya Wawan.

"Oh, jelas, bisa. Sekalipun sebetulnya, shalat itu tidak bisa dihubungan dengan rezeki banyak atau sedikit. Tidak bisa seseorang baru melaksanakan shalat jika mendapat rezeki melimpah, lantas dia berhenti shalat karena rezekinya seret. Itu jelas keliru. Karena shalat itu adalah kewajiban, sementara rezeki itu rahasia Allah dan tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui rahasia rezekinya."

"Pintar juga kamu berceramah seperti si Djalil itu, Ghan. Memang kamu itu muridnya. Tapi sayang, kamu salah tempat. Seharusnya kamu ceramah seperti itu di masjid. Kami tidak butuh ceramah kamu. Itu tidak penting bagi kami. Bagi kami sekarang yang penting itu mendapatkan ikan sebanyak-banyak. Ngerti kamu!"

"Nah, denger tuh, apa kata Bapak, jangan terus-terusan ngikutin pendapat si Djalil itu," kata Ramli.

"Ayo sekarang siap-siap. Kita harus pulang lebih cepat. Segera kita pasang jaring di lokasi ini," perintah Pak Darso.

Ghan menduga waktu Isya sudah tiba. Tapi kakak dan bapak sudah mulai sibuk. Dia berencana untuk shalat Isya langsung ketika sudah sampai di daratan.

Waktu bergerak begitu cepat. Suhu di laut. Makin tak menentu. Gelombang yang disertai angin. Kemungkinan akan terjadi badai. Ghan memohon semoga diberikan keselamatan. Perahu kecil itu dipermainkan gelombang di tengah lautan yang gelap. Sementara mereka belum mendapatkan tangkapan ikan. Ikan yang mereka dapatkan masih bisa terhitung dengan jari.

Ghan terkesima melihat ikan-ikan yang terbang meloncat. Ikan-ikan itu tak berhasil mereka tangkap. Ikan-ikan itu sangat liar.

Mereka mencoba memasang jaring bergonta-ganti di beberapa titik, namun hasil tangkapan tidak begitu berarti.

Lelah sudah merayap ke pori-pori dan otot mereka. Tapi mereka tidak menyerah. Entah kenapa Ghan tiba-tiba terkena mabuk laut, tidak seperti biasanya. Mungkin karena beberapa hari ini tubuhnya kurang fit. Mulutnya terasa mual. Ghan tidak memedulikannya. Dia tetap bekerja seperti kakak dan bapaknya.

Ghan merasakan jaring yang diawasinya terasa berat.

"Sepertinya kita akan dapat ikan besar," ucap Ghan.

Bapak dan kedua kakaknya mencoba memastikan. Tak lama kemudian senyum mereka mengembang. Mereka terlihat girang.

"Ya benar-benar. Sepertinya ikan pari. Ghan, kamu siapkan rawe senggol,"ucap Pak Darso.

Dengan sigap Ghan menyiapkan alat yang diminta bapaknya. Mereka pun siap merayakan kemenangan. Seekor ikan pari raksasa tersangkut di jaring dan tidak bisa keluar dari jaring itu. Dengan tenaga yang tersisa mereka menarik jaring itu menuju daratan.

***

Berita mengegarkan itu pun tersebar. Seekor ikan pari seberat satu ton berhasil dibawa ke daratan oleh Pak Darso dan anak-anaknya. Keluarga Pak Darso tiba-tiba menjadi buah bibir. Tak lama setelah berita itu tersiar, banyak yang memesan ingsangnya. Ingsangnya memang banyak diminati dan harganya pun terbilang mahal. Pak Darso memutuskan untuk tidak menyerahkan semua daging ikan itu kepada tengkulak. Dia juga berniat untuk menjualnya sendiri.

Ghan masih tiduran dengan lemas. Semalam ketika mencapai daratan, tubuhnya tidak bertenaga, cairan kuning keluar dari mulutnya. Dengan tenaga yang tersisa dia menyempatkan diri untuk shalat Isya. Mereka sampai di daratan pukul setengah tiga dini hari.

Walau pun dalam keadaan bahagia karena mendapatkan rezeki nomplok, Pak Darso tidak mengurungkan niatnya terhadap Ghan. Dia sudah memutuskannya. Kedua kakaknya pun sudah mendukung dengan bulat. Lagi pula, kedua kakaknya sangat membenci Ghan karena adiknya itu menurut mereka sok tahu dan suka merendahkan mereka.

Semburat merah jingga menghiasi ufuk timur langit. Matahari terlihat menyembul dari Timur Pantai Pamayangsari. Ghan ditimpa kepedihan yang mendalam. Jantungnya berdetak hebat. Ia tak percaya pada lelaki yang sedang berbicara di hadapannya adalah bapak kandungnya.

"Pergilah! Pergilah ke mana saja yang kamu mau! Aku tidak sudi melihat kamu lagi. Mulai saat ini kau bukan anakku lagi. Aing teu hayang boga anak kawas maneh! Kalau kamu masih ada di desa ini, aku takkan segan membunuhmu." Bentak Pak Darso.

Ghan tertegun. Benarkah apa yang baru saja dikatakan itu keluar dari lisa bapaknya. Ghan benar-benar tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Dia diusir bapak kandungnya sendiri.

"Cepat, pergi sekarang juga!" ucap Pak Darso sambil membanting pintu, entah pergi ke mana.

Ghan melirik ibu yang tak jauh darinya. Terlihat guratan wajahnya begitu teguh. Tetapi dari sudut matanya mengalir butiran-butiran bening yang deras. Ibunya tak berkata apa-apa. Ia setengah berlari ke dapur.


Meretas AwanWhere stories live. Discover now