Selamat Tinggal #5

255 19 5
                                    


Watak Pak Darso tidak dapat dirubah dengan petuah sebaik apa pun petuah itu. Ibaratpohon besar yang bengkok, takkan bisa diluruskan. Orangtuanya dahulu memang tidak mengajarkan kepadanya bagaimana cara menjalankan ajaran Islam dengan baik.

Sesampai di rumah Ghan dimarahi habis-habisan oleh bapak dan kedua kakaknya.

"Kerjaan kamu hanya keluyuran saja. Apa sih yang kamu dapatkan dari lelaki tua itu?" bentak Wawan.

"A, tolong kamu jangan bilang guru saya, lelaki tua. Beliau punya nama. Panggillah sesuai namanya," bela Ghan.

"Jadi kamu, berani sekarang," bentak Ramli sambil mendorong kepala Ghan. Ghan merasa sakit. Tapi dia berusaha menyembunyikannya. Dia ingin menjadi orang yang kuat dan tidak jatuh sekadar digertak atau dihina.

"Kalian hanya boleh menghina Ustaz Djalil kalau kalian bisa membaca satu lembar saja kitab berbahasa Arab yang sering kami bedah. Coba, kalian mau terima tantangan saya?"

"Kurang ajar. Kamu berani melawan kakakmu, hah demi membela si Jalil itu?" Pak Darso membela kedua anaknya.

Sementara di kamar, Bu Syam hanya bisa menangis. Dia tidak tahan melihat anak bungsunya diserang dan tak ada yang membela. Naluri keibuannya meraung-raung. Serta merta, Bu Syam keluar.

Tiba-tiba kedua bayi, anak Wawan dan Ramli menangis mendengar pertengkaran itu. Tangisan mereka tidak bisa dihentikan.

"Tolong hentikan semua pertengkaran ini. Ini sudah malam. Lebih baik kalian siapakan diri beristirahat, kalian besok akan melaut," ucap Bu Syam sambil menahan tangis.

Mendengar ucapan ibunya, Ghan segera ke kamarnya. Tak lama kemudian, Kedua kakaknya dan bapaknya pun ke kamar masing-masing.

Ghan tidak langsung tertidur. Di benaknya terbayang siksaan bapak yang dilakukan terhadapnya. Siksaan itu ketika Ghan menolak ikut melakukan Ritual ngalarung[22]pada acara syukur laut. Saat itu Ghan tidak mau melakukan karena ingin mengamalkan ajaran Islam dengan murni dan konsisten.

Tahun kemarin, seperti tahun-tahun yang sebelumnya, ketika tahun baru Muharram masyarakat Pamayangsari mengadakan ritual syukur laut. Tradisi ini dilaksanakan turun-temurun.

Pak Darso ingin memeriahkan ritual tahunan itu. Dia secara khusus membuat jempana sendiri. Wawan dan Ramli mendesain jempana itu dan menghiasnya dengan begitu apik. Ghan ditugaskan untuk mencari berbagai jenis bunga. Sementara Bu Syam ditugaskan untuk memasak aneka makanan untuk pelengkap di jempana itu. Kepala kerbau telah disiapkan. Untuk mendapatkan kepala kerbau itu Pak Darso sampai rela menghutang. Ghan dan Bu Syam terpaksa melakukan, karena kalau menolak pasti akan disiksa.

Pesta syukur laut pada tahun itu sangat meriah, dihadiri oleh aparat pemerintahan. Pak Darso berharap keberkahan dari acara itu. Dia berharap hasil tangkapan ikannya makin meningkat setelah dia membuang jempana berisi kepala kerbau itu ke laut.

Terakhir Ghan diharuskan untuk ikut upacara itu. Ghan ditugaskan setelah membuang jempana itu, dia segera mengambil air laut sebanyak-banyaknya untuk diambil berkahnya. Untuk yang satu ini Ghan tidak mau melakukannya. Dia tidak mau menjadi orang yang menyekutukan Allah. Akhirnya Ghan diikat berhari-hari tanpa makan dan minum. Dia dianggap sebagai anak durhaka.

Waktu itu, Pak Djalil sudah menghimbau kepada warga untuk tidak melakukan ritual itu. Dia menyarankan kalau mau melestarikan tradisi itu, buanglah mantra-mantra dalam ritual itu. Cukup jempana kosong saja, jangan ada makanan dan kepala kerbau. Doanya pun ditujukan hanya pada Allah yang telah menciptakan laut dengan segala kekayaan di dalamnya.

Saran itu tidak diterima masyarakat. Malah Pak Djalil dimusuhi hampir sebagian besar warga, termasuk Pak Darso. Pak Djalil mencoba mendekati aparat desa agar menghimbau masyarakatnya. Namun aparat desa pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata perlu perjuangan besar untuk mengikis habis kepercayaan dalam ritual itu.

Meretas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang